8. Kehidupan Orang Dewasa

5.5K 624 39
                                    


Memiliki telinga, itu artinya Syafa harus siap mendengar apa pun yang teman-temannya ceritakan. Punya mata, itu juga berarti Syafa harus rela melihat story di sosial medianya yang banyak berisi keluh kesah para teman.

"Sekali aja, yang muncul di TL bukan ngeluh ini-itu." Dumal Syafa. Ponsel kesayangan hasil dari gaji pertama beberapa tahun lalu masih setia berada dalam genggaman.

"Kenapa sih, Kak? Dari tadi ayah lihat kamu ngomel terus." Tegur sang ayah. Bapak Rian.

"Ini nih... teman-teman kakak tuh banyak banget yang ngeluh-ngeluh di sosmed. Mending Syafa lihatin yang pada pamer-pamer harta deh... jelas senyum bahagia walau mungkin ada yang palsu juga." Dumal gadis dua puluh tujuh tahun itu.

Ayah yang mendengar hanya bisa terkekeh.

"Ya gampang, nggak usah lihatin hape. Mending kamu pijit tangan ayah dari pada mijitin layar hape." Seloroh ayah.

"Tuh kak, pijitin!" Ucap Syafiq yang juga sibuk dengan ponselnya.

"Kamu juga, Fiq. Pijitin kaki ayah." Ucap ayah, membuat Syafiq cemberut. Walau begitu, ia tetap mendekat dan memijit kaki Bapak Rian.

"Adek mau juga pijitin ayah!" Seru Syana yang baru keluar dari dalam kamar.

Jadilah, hari minggu pagi itu menjadi ajang pijit untuk sang kepala keluarga. Pria paling di hormati dan di kagumi oleh anak-anaknya.

.
.
.

Kalau nanti Tuhan mengizinkan Syafa untuk punya pasangan, ia ingin sosok itu seperti ayah.

Ayah bukanlah suami dan bapak yang mengekang apa pun keinginan istri juga anak.

Ayah adalah sosok yang tidak bossy. Sejak Syafa kecil, walau sesibuk atau selelah apa pun, ayah akan selalu membantu bunda.

Tidak pernah ada yang namanya pekerjaan rumah tangga yang saklek antara ayah dan bunda. Bukan berarti bunda yang tinggal di rumah selalu leha-leha... banyak pekerjaannya. Apalagi dulu harus merawat anak-anak yang masih kecil.

Sebagai anak tertua, Syafa dengan jelas menyaksikan bagaimana kedua orangtuanya bekerja sama membina rumah tangga.

Memasak, mencuci, beres-beres rumah, mengurus anak, dan mencari nafkah. Semua di lakukan secara bersama. Ayah tidak canggung jika harus bersih-bersih atau masak sekalipun. Ayah juga tidak keberatan untuk begadang menemani anak-anak yang rewel sementara bunda kelelahan karena sudah menjaga anak-anak sejak pagi.

Bagi Syafa, itu adalah sebenar-benarnya lelaki.

Masalah nafkah, semua cukup. Ayah punya penghasilan lumayan yang mampu membuat keluarga mereka tinggal dalam rumah yang nyaman. Tidak terkena terik mentari maupun basah hujan. Cukup sekali hingga bisa menabung demi pendidikan anak-anak. Walau sedikit banyak, bunda membantu juga dengan usaha kontrakannya.

Pokoknya ayah adalah yang terbaik. Lelaki yang akan menjadi cerminan Syafa di kemudian hari.

Namun...

Seiring bertambahnya usia, Syafa merasa tidak ada yang seperti ayah.

Entah karena harus menyaksikan kehidupan teman-temannya yang cukup banyak tertekan karena lelaki, atau ekspektasinya sendiri, Syafa berpikir.

Nggak apa-apa deh kalau aku harus single seumur hidup.

Begitu pemikiran Syafa. Ia tidak banyak berharap. Mengandalkan dirinya sendiri sudah cukup. Toh, manusia hidup tidak melulu tentang berketurunan. Hal paling penting adalah, seberapa bermanfaat dirimu buat orang lain.

Partner Kondangan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang