Partner Kondangan

73.2K 7.4K 191
                                    

Siang hari ini sangat terik. Matahari kayaknya sedang bersemangat untuk menyinari bumi sampai-sampai awan tak ada yang terlihat karena enggan untuk menghalangi. Langit berwarna biru cerah, tidak sesuai dengan suasana hatiku saat ini.

Dosenku yang seharusnya ngajar siang ini mendadak tak bisa datang karena ada keperluan. Pemberitahuannya pun beberapa menit sebelum kelas dimulai. Terpaksa cari hari lain sebagai pengganti. Beginilah kehidupan mahasiswa.

Boro-boro mau bahagia pas jam kosong, malah kadang kesal karena harus mencari waktu lain. Bisa dibilang, jam kosong bagi mahasiswa itu gak ada, adanya pindah jam kuliah. Cocokin jadwal itu susah banget. Kadang kita bisa tapi dosennya enggak. Kadang dosennya ada waktu luang tapi kitanya lagi kuliah.

Coklat dingin dan sebuah roti rasa coklat menemani siangku kali ini. Aku sudah makan siang tadi di ruangan Pak Arash, tapi jadi lapar lagi. Perut karet memang begini.

Fiona kelihatan sibuk dengan laptopnya. Entah mengerjakan apa, aku pun tak bertanya. Lagian gak semua yang ia kerjakan bisa aku pahami dengan baik.

Bang Ian datang dengan menghempaskan tubuhnya diatas kursi dan merebahkan kepalanya diatas meja. Wajahnya terlihat kusut. Dia nampak sangat stres, pasti abis bimbingan. Gara-gara Pak Arash lagi ya?

"Kenapa lagi, Bang?"

"Sha, gue langsung seneng masa." Ia mengusap dadanya dan tersenyum lebar. Kepala yang awalnya terlihat sangat berat bahkan susah ia tegakkan pun perlahan berdiri. "Lo perhatian banget sama gue." Aku mencibir.

Dia bukannya benar-benar senang. Tapi enggan berbagi aja. Pasti tadi abis kena cecar abis-abisan sama Pak Arash. Aku menepuk-nepuk punggungnya menguatkan.

"Jangan terlalu dipikirin, nanti lo malah gila. Santai aja Bang, pergi refreshing gih biar otaknya fresh dikit. Gak usah dipaksain, otak lo juga capek kali disuruh mikir terus."

Kadangkala, kita butuh yang namanya istirahat. Bukan berarti nyerah loh ya, cuma istirahat sejenak. Kumpulin tenaga, kuatkan lagi tekad, lalu berdiri dan mulai melangkah kembali.

"Bagusnya kemana ya, Sha?" Bang Ian kembali merebahkan kepalanya diatas meja dan menghadap kearahku.

"Kalau gue sih refreshingnya ke perpus." Aku menyeruput coklat dingin dengan khidmat. Seger banget, berasa masuk kulkas.

"Ke perpus yang ada gue makin mumet." Bukannya terima kasih malah menoyor kepalaku.

"Kan lo nanya gue tadi, kalau gue ya gitu caranya. Bukan baca buku yang bahasanya ribet plus susah dimengerti, tapi baca novel. Itu cara gue buat refreshing. Lakuin apa yang lo suka, yang bisa ngilangin stres. Gak perlu liburan jauh-jauh." Bang Ian tampak berfikir sebentar sebelum menganggukkan kepalanya. "Emang kenapa tadi bimbingan sama Pak Arash? Revisi lagi?"

"Sempro aja gue belum, Sha. Revisi terus berulang kali, gak kelar-kelar. Temen-temen gue aja dah pada kelar sempro." Getokan di kepalanya membuat Bang Ian mengaduh.

"Jangan bandingin sama temen lo. Semua orang punya waktunya sendiri-sendiri. Kalau elonya belum, berarti emang belum waktunya. Lakuin aja apa yang Pak Arash suruh, pasti bakal lancar deh." Fiona yang diam-diam menyimak pun mengacungkan jempolnya padaku.

Kunci utama menghadapi Pak Arash itu adalah patuh dan disiplin. Turutin semua saran yang dia kasih, lakuin apapun yang dia minta, dan yang paling utama adalah jangan lalai. Dijamin bakal lancar bak jalan tol.

Pak Arash kalau urusannya sama tugas ataupun skripsi, dia itu gak suka mahasiswa yang setengah-setengah, alias antara niat dan gak niat seperti Bang Ian ini. Jangan heran aku tau darimana, Pak Arash kan sering ngomongin mahasiswanya.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang