"Hal..."
"Arisha? Kamu kemana aja? Saya telefon dari tadi tapi gak diangkat-angkat." Aku sontak melebarkan kedua mataku yang awalnya tertutup. Tanganku bergerak untuk mengusap kedua mataku perlahan. Setelah itu barulah aku memperhatikan layar hpku. Ada nama 'Dewa Ares' di sana.
"Kenapa sih, Pak?" Aku mendesah kesal. Kegiatan tidurku terganggu gara-gara Pak Arash yang menelfon.
"Kenapa kamu bilang? Kamu lupa janji yang sudah kamu ucapkan tadi?" Dahiku berkerut bingung. Kapan aku berjanji pada Pak Arash? Perasaan tak ada. Lagian apa pula yang aku janjikan?
"Mau bimbingan atau enggak? Kalau enggak saya pulang nih!" Aku segera menegakkan badanku dan melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 3 lewat lima belas menit. Decakan kesal meluncur dari mulutku. Bisa-bisanya aku lupa padahal tadi mengatakan kalau aku ingin bimbingan.
Aku memang ke kampus tadi. Tapi setelah makan siang tadi, aku izin pada Pak Arash untuk membawa pekerjaanku pulang. Hari ini adalah jadwal bulananku, hari pertama. Makanya perutku sangat sakit. Tadi aku berjanji kalau aku akan kembali jam 3 tepat.
"Mas, tungguin lima belas menit bisa gak? Mandi kilat kok, baru bangun soalnya." Aku bisa mendengar decakan kesal diseberang.
"Giliran ada maunya langsung ngomong baik-baik ya, tadi aja masih manggil pak. Padahal jelas-jelas kalau kamu lagi di rumah, bukan kampus." Gerutuanku tertahan, hanya tampak dari bibir yang bergerak saja tapi tak mampu keluar. Kalau keluar, yang ada akan terjadi perang. Boro-boro mau bimbingan, bisa-bisa tugas akhirku terancam keberadaannya.
"Kalau Masnya ngomel-ngomel mulu, makin lama nih saya sampainya." Ketusku.
"Yaudah gak usah bimbingan sekalian!" Tut tut tut. Dimatikan.
Ya Tuhan, aku akui kalau aku salah dalam hal ini. Aku tak tepat janji. Salah aku juga sih karena tidak mengatakan yang sebenarnya kalau perutku sedang sakit. Aku tadi beralasan ingin pulang karena ada tugas yang harus aku kerjakan, tapi laptopku ketinggalan. Ia bahkan bersedia meminjamkan laptop, tapi aku kembali berbohong kalau tugasnya sudah dikerjakan separuh. Capek kalau harus mengulang lagi dari awal.
Bodo amat sih. Aku tinggal minta maaf saja besok. Sekalian bimbingan. Kalau aku tak bimbingan dalam waktu dekat, wisuda di akhir Februari hanya menjadi angan-angan yang tak akan terwujud.
Badanku kembali rebah ke kasur. Berhubung bimbingan sudah batal, jadi aku bisa lanjut tidur lagi. Melanjutkan mimpi yang terjeda tadi apakah bisa? Padahal seru banget mimpinya, lagi nabok Pak Arash.
Baru lima menit mataku terpejam, hp yang berada tak jauh dari kepalaku kembali bergetar. Siapa lagi sih ini? Kenapa saat aku sensitif gini malah banyak orang yang mengganggu waktu istirahatku?
"Hal..."
"Arisha, kamu tidur lagi ya? Saya masih nunggu kamu di kampus." Ya Tuhan, pengen ngumpat rasanya. Dia sendiri yang mengatakan kalau bimbingannya tidak jadi. Sekarang malah bilang sedang menungguku.
"Otw, Pak. Otw. Sabar. Kaki saya cuma dua, Pak." Saat hp dimatikan aku segera ngacir ke kamar mandi. Mandi kilat sudah biasa bagiku. Bodo amat jika Pak Arash marah-marah saat aku datang nanti. Yang penting mandi dulu supaya sedikit fresh. Nanti kalau Pak Arash menatapku, dianya gak ngegas mulu bawaannya.
Kemeja dan jeans, pakaian standar bagi mahasiswa. Rambut dicepol layaknya ekor kuda, bedak tipis dan lip tint biar gak kelihatan pucat. Ambil tas dan tugas akhirku, lanjut kunci kontrakan dan berlari secepat mungkin.
Awas saja kalau Pak Arash sudah pulang. Aku akan memakinya dengan segala kata-kata makian yang ada di otakku. Mulutku tak akan berhenti mengumpatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
Chick-LitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...