"Kapan-kapan kita dinner gimana, Pak?" Aku tau tangan yang diam-diam bergerak hendak menyentuh tangan Mas Arash. Tapi untungnya Mas Arash lebih dulu tersadar dan menjauhkan tangannya. Agresif juga ya wanita ini.
Tak tau saja dia kalau tangan Mas Arash yang satu lagi sedang menggenggam tanganku di bawah meja. Andai saja dia tau aku ini bukan sekedar asisten, gimana ya reaksinya? Aku jadi penasaran.
"Boleh Bu, tapi ajak calon istri saya gak papa kan ya?" Senyum di wajah wanita itu langsung pias seketika.
"Calon is..tri?" Nadanya persis seperti Buk Ana waktu itu. Apa ada retakan juga di hatinya?
Bagaimana jadinya kalau pernikahanku dengan Mas Arash benar-benar terlaksana? Akan ada banyak retakan tak kasat mata. Apalagi deretan fans yang selalu mengagumi ketampanannya.
"Iya, nih calon istri saya." Mas Arash menoleh padaku, membuat wanita itu salah tingkah saat menatapku. Ia pasti malu karena terang-terangan menggoda Mas Arash di depan calon istrinya.
"Ah boleh-boleh. Nanti atur jadwalnya aja ya Mbak?" Dia merespon dengan sedikit gelagapan.
"Iya Bu." Sahutku dengan senyum manis di wajahku. Kemudian ia cepat-cepat pamit undur diri.
Aku melirik Mas Arash, yang ia balas dengan mengedikkan bahunya. Hari ini untuk kesekian kalinya aku bertemu dengan wanita yang terang-terangan menggoda Mas Arash. Tak terlalu parah sih, tapi lumayan mengaduk-aduk emosiku. Mulai dari nada bicara, gestur, maupun tindakan. Wanita memang semakin menjadi-jadi belakangan ini. Nampak bibit unggul langsung bereaksi.
Segitu besarnya ya daya pikat pacarku ini hingga membuat banyak wanita terpikat padanya? Bahaya ini mah. Apalagi kalau keagresifan itu ditunjukkan terang-terangan.
"Mas, lain kali kalau mau keluar itu muka kamu dipakein arang deh. Biar gak dipuja terus." Mas Arash tergelak, lalu menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.
"Kalau kamu gak malu jalan sama aku sih gak papa." Ya malu lah. Nanti dikira bawa orang gila kemana-mana. 'Kenapa gak dibawa ke rumah sakit jiwa, Mbak?' Pasti begitu kata orang.
"Mas, please jadi jelek sekali aja. Pas di luar doang." Aku menarik tanganku dari genggamannya, tapi ia menolak melepaskannya.
"Sekarang kamu ya yang posesif?" Gak posesif, malas saja lihatnya. Wanita memang tertarik sekali ya dengan pria berwajah tampan?
"Kamu yang posesif. Ini tangannya dilepasin dulu kek. Sejak dari mobil sampai sekarang gak dilepas-lepas. Udah keringetan loh tanganku. Mana udah lebih sejam lagi. Aku gak bakal kabur Mas Arash." Bukannya menuruti permintaanku, ia malah semakin mengeratkan genggamannya. Ya Tuhan. Kapan sih dia akan mendengarkan?
Aku menggeser kursiku kearah depan supaya agak sedikit mepet ke meja. Tanganku yang dari tadi sudah gatal, meraih sendok dan langsung memakan kue yang ada di depanku.
Kenapa sih meeting itu repot-repot di restoran? Kalau ujung-ujungnya cuma minum kopi, mending di kantor aja. Sudah memesan ruangan khusus agar rapat tidak terganggu, tapi cuma kopi doang yang diminum. Sementara kuenya dianggurin. Padahal gak gratis loh ini, bayarnya pake uang bukan pake daun.
Terlebih lagi si Ibu tadi mengagendakan rapat bukan di jam makan siang. Padahal kalau jam makan siang kan enak, bisa langsung makan. Mumpung di restoran yang bagus juga.
Suapan selanjutnya lebih dulu dicuri Mas Arash. Ia mengarahkan tanganku menuju mulutnya. Kue ada di depannya tapi ia malah mau kue punyaku. Oke, akan aku berikan dengan senang hati karena dia yang membelikan.
Obrolan tempo hari yang mengagetkan itu tak ada kelanjutannya. Mas Arash masih betah untuk menyimpan rahasianya. Entah karena malu atau karena enggan bercerita. Setiap aku bertanya, pasti jawabannya 'Nanti Dek, nanti.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
Literatura FemininaArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...