Memang manusia itu cuma bisa berencana, selebihnya Tuhan yang punya kuasa. Aku sudah berusaha dan berdoa, pada akhirnya keputusan itu tetap Tuhan yang menentukan.
Target awalku adalah sempro sebelum UAS. Namun ternyata sebelum UAS aku sudah menyelesaikannya, tepat pada hari terakhir sebelum datangnya weekend.
Semuanya mendadak begitu mudah karena kegigihanku untuk selalu mengatur jadwal bimbingan. Paling sering dengan Pak Arash, sementara bersama Pak Adnan hanya beberapa kali. Apalagi Beliau sering mengikuti seminar di luar kota. Untuk itu aku harus pintar-pintar mencari tahu jadwal Pak Adnan.
Aku tersenyum lega seraya menghirup udara sore di taman kampus, ditemani oleh Farhan dan Fiona yang asik berceloteh mengenai UAS yang rencananya akan dilaksanakan minggu depan. Mereka bahkan sempat-sempatnya menyiapkan hadiah buket makanan yang jumlahnya lumayan banyak. Belum lagi hadiah yang diberikan oleh teman-teman segerombolan Farhan dan senior favoritku yaitu Bang Ian. Teman sekelas selain Fiona dan Farhan mah gak usah ditanya, datang saja tidak.
"Abis UAS langsung magang. Setelah magang langsung masuk semester 8. Gak nyangka sebentar lagi punya gelar." Farhan menyandarkan punggungnya pada bangku taman dan menatap langit yang tampak terang walaupun matahari sudah condong ke barat.
"Kalau udah kelar kuliah apa kita masih bisa ngumpul-ngumpul kayak gini ya?" Gumamku. Fiona dan Farhan berbarengan menoleh kearahku.
"Memang kita akan menjalani kehidupan masing-masing, tapi bukan berarti kita gak bisa ngumpul kan? Kalaupun nantinya kita kerja di tempat yang berbeda, sekali-kali harus bikin agenda ngumpul bareng. Inget ya! Jangan ganti nomor tanpa adanya pemberitahuan." Fiona menunjuk aku dan Farhan bergantian, kemudian ikut menyandarkan tubuhnya.
"Lo jadi lanjut S2?" Tanya Farhan pada Fiona. Fiona memang sudah dari dulu mengatakan kalau orang tuanya ingin ia lanjut S2.
"Bokap tetap nganjurin sih. Apalagi Kakak gue juga S2, di Amerika lagi. Kayaknya kemungkinan besar iya. Tapi gue harap di Indo aja." Jelasnya. "Elo gimana, Sha?" Ia lanjut mengoper pertanyaan padaku.
"Kerja pastinya, apapun asal halal." Sahutku cepat. "Kalau ada kesempatan, gue memang mau belajar lagi. Coba-coba nyari beasiswa. Kalau ada yang mau nikahin juga gak masalah." Aku terbahak diakhir kalimatku karena membayangkan wajah Pak Arash. Entah kenapa tiba-tiba saja wajah itu terlintas di pikiranku.
Aku menepuk dahi pelan, kemudian kepalaku menggeleng-geleng seraya menghilangkan bayangannya. Otakku sepertinya sudah terkena virus nih.
"Berarti gue doang yang capek belajar. Pengennya cepet-cepet lulus abis itu nyari calon istri."
"Kerja yang bener dulu, baru cari istri." Selaku. Nanti mau dikasih makan apa istrinya kalau dia sendiri tak bekerja? Makan batu mah gak enak.
Dewa Ares
Traktirannya jadi hari ini kan? Saya sudah mau selesai nih.Ah iya hampir saja lupa. Aku hari ini ingin menepati janjiku yang waktu itu, mentraktir Pak Arash jika aku diterima magang di RYK Group.
Jadi, Pak. Saya tunggu deket kontrakan ya.
Dewa Ares
Okay, see you."Eh gue pamit dulu deh. Dah sore nih." Sejujurnya aku tak tau berasalan apa. Tapi memang aslinya Farhan dan Fiona itu orangnya gak kepo, alhasil aku bisa meloloskan diri dengan cepat.
Dengan membawa dua kresek besar berisi banyak sekali makanan yang merupakan hadiah dari teman-temanku, aku melangkah cepat menuju kontrakan. Aku memilih untuk mengganti bajuku karena tak mungkin mengenakan baju hitam putih untuk makan ketoprak, akan terlihat aneh nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...