Mati Aku

68.8K 7.8K 96
                                    

Hari ini aku kembali bekerja saat weekend alias hari Sabtu. Pak Arash kemarin memintaku untuk datang ke cafe miliknya yang waktu itu untuk membantunya menyelesaikan beberapa pekerjaan yang biasa aku lakukan.

Aku tak banyak bertanya ataupun protes, langsung mengiyakan dengan semangat. Bahkan untuk pertama kalinya batinku tak memakinya karena harus bekerja saat weekend.

Setidaknya ini caraku membalas sedikit kebaikannya karena membiarkanku untuk libur selama masa UTS berlangsung. Anggap saja ini adalah bentuk rasa terima kasihku untuknya. Jangan sampai aku hutang budi padanya. Nanti dianya ngelunjak dan minta yang aneh-aneh. Kan serem.

Tapi tampaknya kali ini ada sesuatu yang terjadi. Buktinya sudah hampir dua jam aku duduk di dalam cafe miliknya tapi tak ada tanda-tanda kedatangannya. Aku pun sudah bertanya pada salah satu karyawan disana, tapi mereka belum melihat kedatangan bos mereka.

Dari tadi aku tak henti-hentinya melihat jam dinding. Juga sudah bolak-balik menatap layar hpku. Siapa tau ada kabar. Tapi nihil, tak ada satupun.

Bola mataku rasanya mau keluar dari sarangnya karena dari tadi tak henti-hentinya menatap kearah pintu masuk. Rasa kantuk perlahan menyerangku. Sudah lima kali aku menguap selama setengah jam terakhir.

Apa terjadi sesuatu pada Pak Arash? Makanya dia jadi terlambat datang. Mobilnya tabrakan di jalan? Atau rumahnya kebakaran? Atau kemalingan? Atau mungkin saja Pak Arash mendadak ada pekerjaan lain? Tapi seharusnya ia mengabariku kalau ia tak bisa datang. Waktuku jadi terbuang percuma.

Dia tak tau apa, aku juga sibuk. Bukan dia saja. Hadeh akhirnya aku mulai dongkol lagi.

"Mbak, mahasiswa nya Pak Bos kan ya?" Seorang karyawan cafe datang mendekat padaku dengan memegang kresek putih di tangannya. Aku tebak umurnya di bawahku, karena masih terlihat sangat muda. Atau istilah yang tepat adalah brondong.

Aku yang terpana pada pemandangan indah di depanku mendadak kehilangan kata-kata, tak mampu memikirkan kata yang tepat untuk meresponnya. Aku hanya bisa menggerakkan kepalaku menciptakan sebuah anggukan. Satu kata, ganteng. Sayang masih bocil.

"Mbak nungguin Pak Bos?" Kepalaku mengangguk lagi. Karyawan Pak Arash ini terlihat sangat imut. Apalagi dengan lesung pipi yang terlihat hanya karena berbicara. Andai dia lebih berumur, pasti aku akan naksir padanya. Eh, bukan tua loh ya. Setidaknya sepantaran denganku atau lebih tua sedikit.

"Pak Bos kayaknya lagi sakit deh, Mbak. Ini aja saya mau nganter makanan karena Bos yang minta." Sakit? Pak Arash bisa sakit juga? Bukannya dia jelmaan setan ya? Aku kira dia kebal.

Mesen makanan bisa tapi mengabariku tak bisa? Apa salahnya sih bilang gak jadi, tau gitu aku sudah pulang dari tadi.

Segerombolan pemuda tiba-tiba saja masuk ke dalam cafe. Padahal baru jam sepuluh lewat tapi sudah ramai saja cafenya. Pasti dompet Pak Arash tebal gara-gara cafenya laris. Tebal karena kartunya banyak, karena dia jarang pegang duit. Bayar makan aja pakai gopay yang jumlahnya cukup untuk makanku beberapa bulan kedepan.

"Mbak, kalau saya minta tolong Mbak aja yang antar boleh gak Mbak? Soalnya temen saya ada yang belum datang. Takutnya keteteran disini." Duh, ni anak tau saja kalau aku segan menolak. Anggukan kepalaku untuk ketiga kalinya membuat ia tersenyum lebar.

Pemuda itu menaruh kresek itu diatas meja, lalu menyodorkan sebuah kertas kecil yang berisi sebuah alamat.

Malas sih sebenarnya kalau harus ke rumah Pak Arash. Tapi kasian juga sama karyawannya.

"Maaf ya Mbak, saya ngerepotin. Nanti saya minta Pak Bos buat traktir Mbak." Pemuda tersebut pamit dan bergegas menuju dapur. Seharusnya dia yang mentraktir. Kapan lagi aku makan dengan brondong? Masa iya dengan bujang yang hendak lapuk seperti Pak Arash terus? Kan bosen.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang