What?

83.1K 10.3K 638
                                    

Belum genap seminggu jadi asisten Pak Arash, tapi aku sudah jadi bahan pembicaraan. Seperti maling yang ketahuan nyolong, aku jadi bahan pergibahan, terutama di kalangan mahasiswi.

Hidupku berubah 180 derajat. Aku yang awalnya tidak dikenal, menjadi seseorang yang populer. Bukan karena aku cantik, bukan pula karena aku pintar, tapi karena posisiku sebagai asisten dosen tampan yang dikagumi.

Aku yang awalnya hanya mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pustaka-kuliah pulang, sekarang jadi mahasiswa yang beken. Lagi lagi bukan karena prestasiku, tapi karena ilmu pelet yang aku lakukan sudah manjur pada Pak Arash. Begitulah mayoritas pendapat mereka.

Padahal aku tak salah apapun. Peletku cuma hati yang tulus, bukan yang lain. Aku bahkan tak menawarkan untuk jadi asisten Pak Arash, tapi dialah yang menunjukku.

See? Mereka yang banyak berkoar-koar bukan berarti mereka benar. Kadang, mereka hanya sibuk menghakimi tanpa tau seperti apa kebenarannya.

Aku tak tau siapa yang membocorkan perihal statusku sebagai asisten Pak Arash. Yang pasti, banyak yang curiga karena melihatku sering keluar masuk ruangan Pak Arash. Entah siapa yang lebih dulu menggosipkan, tapi fakta tentang itu sudah beredar di lingkup fakultas. Secepat itulah kekuatan mulut.

Terlalu cepatnya berita ini beredar, sehingga aku pun tak memiliki persiapan yang memadai untuk menerima setiap pandangan orang untukku. Tapi aku selalu ingat satu nasehat singkat yang aku dapat dari si cantik Ona, yaitu aku tak bisa mengontrol ucapan orang, tapi aku bisa memilih untuk tidak mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Itu tuh, asistennya Pak Arash." Ini adalah perkataan yang sering aku dengarkan ketika berpapasan dengan beberapa mahasiswi.

Aku pura-pura tak mendengar. Langkahku tetap mengikuti Fiona yang sedang mencari Farhan di kantin yang lumayan luas.

"Kok bisa ya? Kan Pak Arash anti banget sama mahasiswi." Anti mahasiswi? Jadi Pak Arash respeknya sama mahasiswa gitu? Jeruk makan jeruk?

"Jual badan kali." Aku menghentikan langkahku dan menoleh pada segerombolan mahasiswi yang duduk di pojokan. Kalau bergosip itu seharusnya gak keras-keras. Biar orang yang digosipin gak denger. Kan akunya jadi kesal.

"Badannya gak bagus-bagus amat. Bagusan badan gue juga." Sahut yang lain.

Dengan begitu saja, mereka sudah memperoleh kesimpulan kalau tak mungkin dari aspek lekuk tubuh yang membuat Pak Arash memilihku untuk menjadi asistennya. Memangnya aku dijadikan model ya? Padahal kalau dia mau, dia bahkan bisa mendapatkan yang lebih dari aku.

Berhubung mereka adalah kakak tingkat di jurusanku, jadinya aku harus pikir-pikir dulu kalau mau melabrak. Yang ada aku yang akan disalahkan. Ujung-ujungnya aku yang disuruh minta maaf karena sudah tidak sopan dengan kakak tingkat. Begitulah, sifat senioritas masih melekat erat di kampus tercinta ini.

Kakak tingkat ya? Keasikan membicarakan orang lain membuat mereka lupa kalau mereka harus mengurusi hidup mereka sendiri. Sekarang mereka sudah semester sembilan tapi belum ada yang mulai menggarap skripsi. Keasikan ngurusin hidup orang sih.

"Gak usah dengerin. Tau sendiri mereka itu gimana." Fiona menarik tanganku menuju ke Farhan yang sedang duduk santai bersama beberapa teman laki-lakinya, teman-temanku juga.

Sudah kubilang, aku hanya dekat dengan Farhan dan Fiona di kelas. Sementara diluar kelas, aku dekat dengan gerombolan yang sering nongkrong dengan Farhan.

Dika sedang khidmat menghisap rokok, lalu menghembuskan nafasnya ke udara. Zaki juga terlihat fokus dengan vape di genggamannya. Sementara yang satunya lagi, si pendiam Cakka hanya fokus pada hp miliknya. Sedangkan Farhan yang rajin, sibuk membolak-balik buku yang ada di tangannya.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang