"Saya mahasiswa, bukan dosen, Pak. Gimana caranya saya ngasih pelajaran coba?" Candaku.
Pelajaran apa yang mau aku kasih? Pelajaran kehidupan?
"Kenapa gak bilang kalau kamu gak mau jadi penanggung jawab kelas?" Dia mengalihkan pembicaraan. Bukankah ini hal yang sepele? Kenapa dia mau membahas hal seperti ini?
"Karena sudah sejak awal Bapak bilang kalau Bapak gak terima penolakan. Tapi..." Aku kehilangan kata-kataku karena menatap matanya. Aduh, padahal aku sudah mewanti-wanti agar tidak menatapnya.
"Tapi?" Aku menggigit bibir bawahku seraya memikirkan kata-kata yang tepat. Jangan sampai aku kena sembur.
"Tapi saya tetap mau melakukannya karena Bapak percaya sama saya. Tapi teman-teman saya nggak percaya, Pak. Makanya saya ingin menolak sejak awal. Saya sudah tau kalau ini akan terjadi."
"Gara-gara masalah dengan Pak Bayu semester lalu?" Aku terdiam.
Sebenarnya aku tak terlalu yakin kalau penyebab utamanya adalah karena masalah semester lalu dengan Pak Bayu. Tapi mereka memang banyak berubah sejak masalah itu terjadi sih.
Waktu itu kami sedang menjalani Ujian Tengah Semester. Di grup kelasku tiba-tiba saja beredar kabar burung yang membahas tentang bocoran soal UTS di mata kuliah Pak Bayu.
Aku tak ada melihat bocoran soalnya karena saat itu aku tak ada memegang hp sedikitpun. Saat musim ujian, aku memang jarang buka hp. Kalau ada informasi penting, Fiona dan Farhan pasti akan memberitahu padaku.
Ujian berlangsung dengan lancar. Tapi setelahnya Pak Bayu langsung murka karena menemukan banyak jawaban dengan bahasa yang sama dan nilai yang hampir mendekati sempurna. Hanya aku, Farhan, dan Fiona yang memiliki jawaban berbeda.
Pak Bayu mengumpulkan hp kami semua secara mendadak dan memeriksanya. Akhirnya ketahuan kalau soal itu bocor.
Katanya sih, ada salah satu dari kami yang melaporkan hal ini pada Pak Bayu. Kalau tidak, tak mungkin Pak Bayu tiba-tiba saja mengumpulkan hp kami. Orang itu pun tidak diketahui sampai sekarang.
Tapi kalau aku jadi Pak Bayu, mungkin aku sudah curiga sejak awal karena menemukan jawaban yang sama dengan nilai yang hampir mendekati sempurna. Bukan karena ada yang memberi tahu. Bukankah seorang dosen itu memiliki kepekaan yang luar biasa mengenai hal ini?
Karena aku tak ada membaca grup, aku jadi tak terkena. Sementara Farhan dan Fiona juga terkena imbasnya karena mereka ikut membaca percakapan di grup itu.
Mereka jadi menuduhku yang memberikan informasi itu pada Pak Bayu. Padahal aku tak tau sama sekali. Aku pun baru tau mengenai bocoran soal itu saat hp kami dikumpulkan.
Akibatnya hanya aku satu-satunya lulus di mata kuliah Pak Bayu. Tentu saja mereka semakin gencar menuduhku. Kebencian itu berlanjut sampai sekarang. Tapi sepertinya itu bukanlah satu-satunya penyebab dari kebencian mereka padaku.
"Arisha." Pak Arash membuyarkan lamunanku. Aku menegakkan kepala dan menghadapnya. "Kenapa kamu gak mau jadi asisten saya?" Gubrak. Pertanyaan itu lagi? Dia memang senang mengalihkan pembicaraan ya? Jadinya gak kelar-kelar kan.
Yang satunya belum selesai, dia malah membahas masalah yang lain. Malah gantung jadinya, gak ada yang benar-benar selesai. Tipe cowok yang sering gantungin cewek nih kayaknya.
"Saya sibuk, Pak." Jawabku sambil terkekeh. Alasannya logis kan ya? Kalau aku jadi asistennya, otomatis aku tidak bisa bekerja karena waktu luangku dihabiskan untuk membantunya.
"IPK kamu lumayan bagus. Tapi kamu gak ada daftar UKM satupun. Ikut lomba juga gak pernah. Kenapa?" Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Kenapa dia tau tentangku? Kenapa juga dia mendadak kepo gini? Setauku, kepo tak termasuk dalam salah satu sifatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...