Tentang Fania

60.4K 6.9K 85
                                    

Kila
Kak, kita langsung ketemuan di apartemen Papa aja ya.

Oke

Sekarang sudah awal tahun, tak terasa waktu berjalan cepat. Namun bagiku semuanya terasa sangat lambat. Lebih lama daripada jalannya siput di film larva yang bisa bikin ulat-ulat imut itu keburu meninggal karena kelamaan nahan BAB. Oke, gak nyambung.

Tapi semua itu nyata adanya. Waktuku benar-benar berjalan lebih lama dari biasanya. Alasannya karena hatiku sedang tidak baik-baik saja sebab tak kunjung mendapatkan kejelasan. Hati dan logika selalu bergumul setiap hari tanpa menemukan satu kesepakatan bersama. Semuanya terjadi hanya gara-gara Pak Arash dan Fania.

Saat kegiatan magangku dimulai, Pak Arash berangkat keluar kota. Tiap hari dia selalu mengabariku, baik itu melalui pesan singkat, maupun video call. Hari Sabtu adalah hari dimana dia akan pulang. Ia akan sampai menjelang zuhur, begitu katanya.

Berhubung saat itu aku libur, aku berencana untuk membuatkannya makanan. Hanya makanan sederhana, dan aku pun berniat untuk mengantarnya ke apartemen yang ia tinggali.

Kebetulan ia memberi kunci apartemen miliknya padaku, entah apa tujuannya. Dan hari itulah aku memutuskan untuk pergi ke sana membawakan makanan karena ia pasti akan sangat lapar setelah menempuh perjalanan jauh.

Tapi semuanya terancam batal saat aku tak sengaja melihat Fania yang baru saja keluar dari apartemen milik Pak Arash. Padahal yang aku tau tak ada Kila di sana karena ia masih di sekolahnya untuk menerima rapor semester. Sudah pasti tak ada Pak Arash juga karena ia masih dalam perjalanan. Jadi kenapa dia sendirian di sini sementara sang tuan rumah tidak ada?

Dengan cekatan aku bersembunyi di area tangga darurat sehingga Fania tak menyadari keberadaanku. Saat aku mengecek apartemen Pak Arash, memang tak ada siapapun di dalam. Yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa dia bisa punya kunci apartemen ini dan apa yang ia lakukan di sini?

Malas berpikir panjang, aku meninggalkan makanan yang aku bawa tanpa menunggu Pak Arash tiba. Aku hanya mengiriminya pesan singkat yang mengatakan bahwa aku mengantarkan makanan untuknya tapi aku harus segera pulang karena ada urusan lain.

Namun sebenarnya aku tak benar-benar pulang. Aku menunggu di taman apartemen tak jauh dari tempat parkir. Niatnya ingin memberi kejutan. Tapi untuk kesekian kalinya rencana itu kembali aku batalkan karena logikaku kembali mengambil alih.

Ketika Pak Arash turun dari mobilnya, aku tak bisa menahan diriku untuk melangkah mendekat. Tapi lagi-lagi ada Fania bersamanya. Mereka berdua melangkah beriringan memasuki apartemen.

Setelah sempat berdebat sengit dengan hatiku, aku memilih untuk kembali ke kontrakan. Positive thinking saja, mungkin mereka sedang membahas sesuatu yang penting. Tapi kenapa harus di apartemen? Kenapa tidak ke restoran atau kafe? Untuk kesekian kalinya kenapa harus apartemen? Tempat yang privasi. Gak sekalian ke hotel saja? Pikiranku yang sudah dipenuhi emosi memang suka keterlaluan begini.

Kami sempat makan siang bersama keesokan harinya. Tapi semuanya mendadak berubah, tak lagi sama seperti terakhir kali kami bertemu. Suasana hatiku sudah pasti, karena spekulasi-spekulasi terus bermunculan tanpa tau bagaimana kebenarannya. Pak Arash juga tampaknya sedang banyak masalah karena wajahnya yang nampak kusut. Jadi aku memilih untuk tetap bungkam.

Esoknya, Senin, ia kembali keluar kota karena ternyata urusannya lebih rumit daripada perkiraan sebelumnya. Belum lagi ia harus ke kota lain untuk mengecek perkembangan cabang kafe baru yang hendak diresmikan saat awal tahun. Dia sangat sibuk hingga aku tak enak kalau harus mengganggunya untuk sekedar bertanya hal yang membuatku penasaran.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang