Curhatan Pak Arash

63.6K 8.2K 636
                                    

"Permisi, Pak." Tak ada respon. Hanya sekedar tatapan tajam sekilas lalu Pak Arash kembali melanjutkan pekerjaannya.

Hari ini adalah hari ketiga aku terlibat perang dingin dengan Pak Arash. Sebenarnya dia aja yang dingin, kalau aku sih biasa aja. Setelah mengusirku waktu itu karena aku enggan memberikan hpku, tiba-tiba saja Pak Arash mogok bicara. Mengirim pesan masih, tapi buka mulut tidak pernah lagi.

Bahkan Pak Arash yang biasanya memintaku untuk memesankan makan siang untuknya, sekarang dia malah memesannya sendiri. Seperti biasa, dua porsi. Tapi tak pernah lagi ia menyuruhku makan layaknya hari-hari kemarin.

Aku tetap melanjutkan pekerjaanku meskipun dia sudah mulai memakan makanannya. Sengaja, menunggu perintah keluar dari mulutnya. Tapi nihil. Ia enggan buka mulut. Bahkan nafasnya saja tidak terdengar olehku. Malah kadang aku suka bertanya dalam hati, dia masih napas kan ya?

Karena aku tak kunjung makan, ia mengambil semua pekerjaanku dan memindahkannya ke mejanya. Lalu menaruh makanan itu di depanku seakan menyuruhku untuk memakannya.

Begitu pula hari ini. Pak Arash masih betah dengan mode diam. Tampak sudah ada pekerjaan yang menantiku di atas meja. Daripada bengong, aku langsung saja mengerjakannya.

Sepertinya targetku tak akan terwujud. Aku tak yakin bisa sempro setelah uas karena Pak Arash mogok bicara seperti ini. Bagaimana caranya aku bisa bimbingan kalau begini? Nasib nasib. Mahasiswa memang harus banyak-banyak istighfar menghadapi kelakuan sendiri dan kelakuan dosen.

Ada beberapa lembar kuis diatas meja, aku hanya tinggal menilainya saja. Ada pula tiga buah buku dan dua berkas yang entah mau diapakan.

Karena mau main aman, aku memilih untuk menilai lembaran kuis dulu. Tidak sampai sejam, aku selesai memeriksanya. Berhubung aku tak tau lagi mau mengerjakan apa, akhirnya aku beranikan untuk buka suara.

"Pak, berkas sama buku ini mau diapain Pak?" Pak Arash menatapku sekilas, lalu membuang muka. Kapan dia mau ngomong sih? Aku kan tak tau isi hatinya. Bagaimana cara membacanya? Bolehkah aku meminjam jin yang ia pelihara?

"Pak, mending pecat saya aja daripada diam-diam begini." Lama-lama jengah juga melihat kelakuan Pak Arash. Biasanya tanpa disuruh ia sudah lebih dulu memerintahkan aku untuk melakukan ini dan itu. Tapi sekarang sudah ditanya pun dia masih enggan menjawab.

"Ngomong apa kamu, Arisha?" Nah keluar juga kan. Pak Arash itu memang musti dipancing dulu baru mau keluar suaranya.

"Abisnya Bapak nyebelin banget. Kalau mulutnya di lem gitu gimana caranya saya paham apa yang Bapak suruh?" Keluhku. Ia mendengus kesal.

"Arisha, kita kan bisa bicara dari hati ke hati." Pret. Sejak kapan Pak Arash jadi gembel gini?

"Hati saya gak bisa ngomong, Pak. Gak punya mulut dia." Tekanku tanpa ragu. Kalau punya mulut, dia mungkin sudah berteriak kesakitan karena selalu sebal melihat kelakuan Pak Arash.

"Tapi saya denger terus tuh suara hati kamu yang manggil-manggil nama saya." Idih. Pak Arash sarapan apa nih tadi? Jangan bilang paku sama beling?

"Pak, serius deh. Bapak butuh kenalan ustadz gak? Saya kenal loh ustadz yang bisa bantu Bapak ruqyah." Pak Arash tergelak.

Apa-apaan sih? Tadi sok-sokan diam, sekarang ketawa sendiri. Dosenku ini masih waras kan ya?

"Arisha, saya kan lagi marah sama kamu. Gak usah ngelawak gitu deh." Ngelawak katanya? Edan.

"Saya serius loh, Pak. Bapak kira saya ini pelawak? Bapak aja yang gak jelas sok-sokan diemin saya. Bocah emang." Mulutku tajam juga ya. Boleh diadu nih.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang