Jadi Kapan?

52.1K 6K 391
                                    

"Mas, apa boleh aku ikut ke apartemen kamu aja?" Aku tidak sedang menggodanya, tapi aku sungguh-sungguh ingin ke sana hanya untuk memastikan semuanya akan baik-baik saja.

"Kamu harus pulang. Gak enak kalau aku antar kamu malam-malam terus. Ya?" Itu artinya dia ingin sendiri. Aku akan menghargai itu. Karena bagaimanapun setiap orang butuh waktu dengan dirinya sendiri bukan? Walaupun hanya untuk diam, bergumul dengan pikirannya sendiri, mengambil nafas sejenak, dan mengumpulkan kekuatan dalam diri sebelum akhirnya mampu menghadapi semuanya. Aku akan beri dia waktu.

Setelah ia mengantarku, aku langsung berlari menuju ojek pangkalan. Aku akan memberinya waktu untuk sendiri, tapi bukan berarti aku akan membiarkannya pergi begitu saja. Aku harus memastikan dia baik-baik saja hingga sampai ke apartemen.

Kalau dia memang benar pulang ke apartemen, maka aku akan membiarkannya. Tapi jika dia tidak ke apartemen, berarti ia mungkin melakukan hal gila yang bisa saja membahayakan dirinya sendiri.

Semuanya ternyata sesuai dengan dugaanku. Ia tak mengarah ke apartemennya. Itu artinya ada hal lain yang ingin ia lakukan. Kecepatan mobilnya mulai tidak normal, menandakan emosinya kembali mengambil alih.

Melihat dari jalan yang ia tempuh, sepertinya ia akan pergi ke makam Mamanya. Aku akan perhatikan ia dari jauh saja. Karena aku tau dia sedang butuh memikirkan banyak hal. Dia sedang menahan pergulatan dengan batinnya sendiri.

Mobil itu terparkir di area pemakaman. Ia berjalan dengan langkah tertatih menuju kuburan Mamanya. Melihat ia berjalan saja sudah membuat hatiku nyeri. Langkahnya tak tegap lagi. Kepercayaan dirinya sudah tidak ada. Sesekali ia berhenti, berusaha untuk menguatkan dirinya lalu kembali lanjut berjalan hingga akhirnya berjongkok di samping makam.

Suara petir menyambar menandakan kalau sebentar lagi akan turun hujan. Aku menatap Mas Arash dari kejauhan dengan khawatir. Dia tak akan berlama-lama di sini kan?

Aku tak bisa mendengar apa yang ia katakan, tapi aku tau kalau dia sangat-sangat terpuruk. Punggungnya tak lagi tegak. Kepalanya pun tak lagi terangkat. Keduanya sama-sama meluruh.

Bahu yang awalnya tegar itu perlahan bergetar. Aku bahkan bisa merasakan kesedihan itu. Dia sedang berada di titik terendahnya saat ini. Titik yang membuatnya sejatuh-jatuhnya hingga tak mampu untuk menopang dirinya sendiri.

Kepergian Mamanya yang ia tau karena serangan jantung berubah menjadi bunuh diri. Anak mana yang tak terluka saat mengetahui fakta ini? Fakta yang selama belasan tahun tidak ia ketahui. Bagaimana ia bisa tetap baik-baik saja?

Kesedihan yang luar biasa, kemarahan yang tidak mampu ditahan, rasa bersalah yang teramat dalam, semuanya bercampur menjadi satu. Aku ingin ke sana, menyediakan bahuku untuknya. Tapi aku akan memberikan ia waktu sampai saat ia bisa menerima semuanya.

Dia butuh menguatkan dirinya sendiri. Aku tau dia bisa. Makanya sejak awal dia enggan memperlihatkan kesedihannya di depanku. Ia berusaha tetap kuat dan tersenyum saat bersamaku. Aku tau dia tak mau terlihat lemah di depanku.

Hujan mulai turun membasahi bumi tapi ia masih betah di sana. Tak ada niat beranjak sedikitpun seakan tubuhnya melekat di tempat itu. Kedua bahuku itu masih saja bergetar hebat. Apa yang harus aku lakukan?

Berlama-lama di sana hanya akan membuatnya jatuh sakit. Apalagi hujan turun semakin derasnya. Aku saja masih untung bisa terlindung di bawah pohon yang rindang ini.

Sudah lebih dari lima belas menit hujan berlangsung dengan sangat lebatnya, tapi masih belum ada tanda-tanda ia akan beranjak. Apa yang sedang ia pikirkan? Aku tak bisa diam saja seperti ini.

Aku mendekat, menembus hujan yang turun bergantian. Langkahku semakin mantap menuju kearahnya. Saat sudah berada di sampingnya, aku berjongkok untuk menyamakan tinggi badanku dengannya. Aku merengkuh badannya dengan kedua tanganku. Kepalaku bersandar pada bahunya dan sebelah tanganku mengusap-usap punggungnya.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang