Selamat Tinggal

52.3K 6.2K 682
                                    

Abang mau kemana? Jangan tinggalin Adek sama Ibu. Ibu lagi sakit. Aku memohon, bersimpuh, dan memeluk kakinya berharap ia mewujudkan permintaanku. Tapi bukannya merealisasikan keinginanku agar ia tetap di sini, malah dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya itu, ia melepas pelukanku pada kakinya.

Satria memeluk tubuhku, mengusap kepalaku dengan sayang, bukan karena ia memilih untuk tetap tinggal. Tapi itu semua sebagai tanda perpisahan sebelum akhirnya dia pergi. Hingga kemudian punggung itu mulai menjauh dan menghilang dari jangkauan mataku.

Aku meraung-raung, meronta dari pelukan Ibu. Tapi itu tak cukup untuk membuatnya mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia tetap meninggalkanku, bahkan sempat melambaikan tangannya tanda pamit dengan raut wajah bahagia.

Bagaimana bisa ia bahagia melihatku menangis keras seperti itu? Kenapa bisa senyum tak pudar dari wajahnya tatkala pergi meninggalkanku? Apa dia senang karena sudah terlepas dari aku? Apa dia bahagia karena tak harus merawatku lagi?

Dek, Abang pergi sebentar kok. Gak akan lama. Kata-kata dari Ibu hanya kebohongan belaka. Buktinya Satria pergi tak sebentar, hampir sepuluh tahun. Dia pergi tanpa pernah memberi kabar. Dia menghilang dan tak pernah kembali.

Urus diri kamu sendiri dan Ibu kamu yang sakit-sakitan itu. Dasar anak pembawa sial! Ucapan yang diiringi kalimat makian itu bahkan tertanam di benakku hingga sekarang.

Yah, Adek janji gak akan repotin Ayah dan Abang. Adek janji bakal jagain Ibu. Tapi izinin Adek ikut, Yah. Aku memohon dengan derai air mata yang membasahi kedua pipiku, tapi bukannya izin yang aku dapat, malah dorongan kuat hingga punggungku membentur dinding. Apa yang salah dari permintaanku itu?

Kamu pembawa sial! Dasar anak tidak tau diuntung! Aku pembawa sial. Karena melahirkanku-lah Ibu menjadi sakit-sakitan. Bisnis Ayah bangkrut juga gara-gara aku. Semuanya salahku. Padahal aku tak melakukan apapun.

Kenapa Ayah bangkrut gara-gara aku? Kenapa Ibu sakit juga gara-gara aku? Apa yang salah dengan diriku? Itulah yang aku pertanyakan selama ini. Nyatanya aku tak pernah menemukan jawabannya. Aku butuh penjelasan kenapa aku yang disalahkan!

Disaat sudah sukses dan mapan, kata maaf tiba-tiba saja meluncur dari mulut Satria. Apa dia pikir dengan kata maaf itu semuanya selesai begitu saja? Apa dengan kata maaf itu bisa mengobati sakit hatiku yang bertahun-tahun berhasil aku tahan?

Kemana saja dia selama ini? Apakah tak pernah terfikirkan olehnya untuk mencariku? Apakah pernah terlintas di benaknya kalau dia masih punya adik? Dia pergi tidak dalam waktu yang singkat, sekaligus meninggalkan luka di hatiku. Baru saja luka itu kembali menganga lebar dan terasa sangat sakit.

Bertahun-tahun aku hidup berdua dengan Ibu dan berusaha memenuhi kebutuhan kami. Tak ada hal lain yang aku syukuri selain punya Ibu yang begitu tulus menyayangiku. Ibu tak pernah mengeluh akan sakitnya. Justru Ibulah yang tiap hari selalu menguatkanku.

Dari tangan Ibu juga, kami bisa mendapatkan uang. Ibu adalah wanita cerdas dengan berbagai kepandaian. Bahkan saat di rumah saja kami harus bekerja untuk mencari uang. Begitulah kerasnya kehidupanku dulu.

Aku dituntut menjadi dewasa walaupun umurku masih sangat belia. Aku dipaksa kuat oleh keadaan. Aku harus menerima semuanya dengan lapang dada meskipun luka dan kekecewaan itu memenuhi dadaku.

Tapi aku bahagia saat bersama Ibu. Ada saat dimana aku sangat merindukan Ayah dan Satria namun Ibu bisa menggantikan posisi mereka berdua. Sejak itulah aku tak lagi berharap pada mereka berdua. Aku ingin lebih lama bersama Ibu, hanya itu. Namun hal itu tidak terjadi. Ibu pergi dan tinggallah aku seorang diri.

Bang Satria gak salah Dek, Ibu yang salah. Tak terhitung banyaknya Ibu mengucapkan kata-kata itu. Namun yang sebenarnya adalah bukan Ibu yang salah, tapi Satria dan Ayah. Kemana tanggung jawab mereka sebagai seorang laki-laki?

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang