Kalau kekerasan terhadap karyawan lapornya kemana sih? Ke dinas ketenagakerjaan? Atau ke polisi langsung? Jika dibiarkan terus seperti ini, bisa-bisa Pak Arash berbuat yang lebih parah lagi.
Hari ini memang hanya menjitak. Besok-besok kalau aku ditabok pakai buku, digampar pakai laptop, ditendang pakai sepatu hitam mengkilap yang ia gunakan, atau ditusuk dengan ujung pena gimana? Bisa gawat dong.
Ini saja sakitnya sudah lumayan karena dia menjitak dengan menggunakan tenaga dalam. Kalau aku gegar otak bagaimana? Ah, jangan sampai. Amit-amit. Kepalaku ini masih banyak gunanya.
"Astagfirullah, Bapak berdosa banget." Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya, dibalas dengan delikan mata kesal. Seharusnya aku yang berekspresi seperti itu. Kan dia yang menganiayaku.
"Waktu pelajaran biologi kamu kemana?" Kenapa pula bahas biologi? Itu sudah beberapa tahun yang lalu.
"Di kelas lah Pak, kan lagi pelajaran. Masa saya diluar? Aneh-aneh aja pertanyaan Bapak. Kecuali kalau saya kebelet, baru saya keluar." Pak Arash hendak menjitakku lagi, tapi aku sudah lebih dulu melindungi kepalaku dengan kedua lenganku. Untung saja dia kalah cepat. Aku selamat kali ini. Alhamdulillah.
"Jangan bikin lecet aset berharga saya, Bapak." Teriakku. Pak Arash kalau dibiarkan lama-lama ngelunjak ya. Kemarin-kemarin memang hanya menyerang lewat mulut, sekarang dia sudah berani main tangan. Kdrt nih namanya. Eh ralat, kddk, kekerasan di dunia kerja.
"Aset berharga kamu gak berguna. Kamu masih bego. Belajar lagi sana! Gak cocok kamu jadi mahasiswa." Idih, enak saja kalau ngomong. Dua belas tahun aku bersekolah untuk sampai ke posisi mahasiswa. Pak Arash malah seenaknya menghujat otakku.
Bego gini tapi aku pernah jadi juara kelas. Ipkku juga bagus. Bukannya itu salah satu alasannya merekrutku? Dia sendiri yang mengakui potensiku.
"Bapak yang gak cocok jadi dosen. Marah-marah mulu bisanya." Dumalku. Dosen yang suka marah-marah itu jadi bikin mahasiswa takut. Bukannya mengerti apa yang ia ajarkan, justru malah membuat mahasiswa belajar dengan perasaan getir sekaligus khawatir karena takut kena marah.
"Apa kamu bilang? Kamu udah berani sama saya?" Todongnya. Keluar deh jurus dosen mengamuknya.
"Saya gak pernah takut sama Bapak. Eh, pernah sih. Tapi setelah dipikir-pikir kenapa juga saya takut sama Bapak? Lagian Bapak masih makan nasi kan?" Cibirku.
Kalau masih sama-sama makan nasi mah gak perlu ditakutin. Kecuali kalau dianya makan paku atau beling, serem juga, kayak Limbad. Atau kalau dia suka makan daging manusia, kanibal itu namanya.
"Makanya kamu jangan ngomong yang aneh-aneh. Udah kuliah masih gak paham begituan." Aku paham kok, paham. Aku tau kalau Pak Arash tak mungkin melahirkan. Itu hanya ucapan spontan sebagai candaan. Aku gak bodoh ya. Tapi pura-pura bodoh dikit biar lawan merasa diatas angin. Setelah itu baru aku hempasan dia ke tanah, haha. Niatnya sih gitu, tapi keduluan dijitak.
"Bapak gak ngerti yang namanya becanda ya? Makanya hidup Bapak itu jangan datar-datar aja. Membosankan itu namanya, Bapak Arash yang terhormat. Sekali-kali harus ada selera humor biar hidup Bapak berwarna dikit. Jangan melempem aja kayak kerupuk yang digoreng pakai minyak dingin. Alot, Pak. Boro-boro mau dimakan sendiri, dikasih ke kucing aja dia nolak." Ejekku. Ucapanku langsung ngena banget kan ya? Kalau Pak Arash masih punya hati tentunya bakal kerasa banget. Kalau hatinya udah terlanjur mati, ya mungkin gak mengerti.
Tawa menggelegar membuat aku langsung sadar kalau di ruangan ini bukan hanya ada aku dan Pak Arash. Masih ada Kila, buntutnya Pak Arash. Eh bukan buntut, tapi anaknya. Jadi Kila itu bukan anak kandung Pak Arash? Terus anak siapa dong? Adopsi atau anak saudaranya? Keduanya mungkin saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...