What The...

52.1K 6.1K 187
                                    

"Congrats Bang Ian." Teriak aku dan Fiona berbarengan, seraya menyerahkan buket makanan yang sengaja kami buat khusus untuknya. Kami yang menatanya sendiri karena ingin hemat anggaran. Lagian kalau membeli pada orang, harganya jauh lebih mahal. Padahal membuatnya tak terlalu susah.

Ada tiga buket makanan berisikan berbagai macam cemilan. Jangan heran, Bang Ian itu aslinya doyan makan. Makanya ia senang diberi hadiah begini.

"Tegang banget gue tadi. Ya Tuhan jantung gue mau copot rasanya." Bang Ian menerima uluran hadiah yang kami berikan dengan sumringah. Tangan kirinya memegangi dadanya untuk mengatur nafas. Akhirnya gelar sudah berhasil ia dapatkan, nunggu resminya aja yaitu waktu wisuda.

Pasti sangat lega ya rasanya kalau sudah selesai semua? Walaupun setelah lulus baru kita merasakan kerja keras yang sesungguhnya. Mahasiswa yang baru saja dapat gelar sama saja dengan pengangguran.

"Jadi foto kagak nih?" Teriak Farhan yang sudah siap dengan hp di tangannya karena jengah melihat kami bertiga yang berteriak tidak karuan dari tadi.

"Jadi dong." Sahut aku dan Fiona berbarengan, langsung mengambil posisi masing-masing di samping kiri dan di samping kanan Bang Ian. Momen seperti ini sayang untuk dilewatkan, harus diabadikan supaya terus terkenang. Setelah ini belum tentu kami bisa bertemu Bang Ian lagi.

"Adek-adek gue nih. Semoga kalian juga segera nyusul ya." Ia merangkul bahu kami berdua, lalu memberikan usapan di kepalaku. Aku mengaminkan dalam hati. Aku juga berharap bisa menyelesaikan semuanya segera.

Beberapa pose berhasil diabadikan oleh Farhan. Saat pose yang terakhir sudah siap, datanglah pengganggu yang tak sanggup kami marahi sedikitpun. Boro-boro mau marahin, diliatin aja langsung kicep. Mundur teratur aja udah.

Siapa lagi kalau bukan Pak Arash. Ia bertingkah seolah-olah tak tau apa-apa dan lewat begitu saja tanpa permisi. Memang di sini adalah jalanan umum, tidak sepantasnya juga kami marah. Kami hanya bisa terdiam menahan kedongkolan. Perusak momen, begitulah sifat pacarku yang satu itu. Asik, pacar.

"Berhubung kantin gak buka karena kuliah belum mulai, gue traktir makan di restoran gimana?" Tawaran yang menggiurkan ini. Yang gratis memang tak mampu ditolak. Apalagi yang bikin kenyang.

"Seriusan nih?" Sahutku bersemangat. Kapan lagi bisa makan enak? Bukan di kafe loh, tapi restoran. Siap-siap makan sampai buncit ini mah.

"Bang, maunya yang enak loh. Gak mau yang ecek-ecek." Timpal Fiona. Aku mengangguk setuju, maunya yang benar-benar memuaskan.

"Gue juga laper nih." Tukas Farhan seraya memegang perutnya.

Kami baru saja menyelesaikan kegiatan magang minggu lalu. Minggu ini adalah minggu terakhir sebelum semester baru dimulai. Aku berharap semoga secepatnya aku bisa seminar hasil, lalu ujian kompre, dan sidang. Setelah semuanya beres, tinggal menunggu wisuda saja.

"Cari aja, terserah kalian. Nanti gue bayarin. Gak ada batasan pokoknya." Yes! Ini yang aku tunggu-tunggu. Traktiran tanpa batasan adalah kesenangan yang tak terhingga. "Kalau udah ketemu, kita langsung berangkat aja. Farhan bawa motor kan? Gue juga bawa. Biar gue bareng Arisha." Kesenengan karena ditraktir membuatku lupa satu hal yang sangat penting demi kelanjutan masa depanku. Gagal deh dapat traktiran hari ini.

"Aduh hampir lupa gue. Gue janji mau bimbingan kelar elo sidang, Bang." Aku menepuk jidatku pelan. "Kalian bertiga aja deh yang pergi. Kalau Pak Arash aman, gue mau lanjut nemuin Pak Adnan juga. Mumpung ada. Gue duluan ya!" Aku mengambil tasku yang tergeletak di lantai dan berlari menjauh.

Kenapa bisa aku melupakan hal yang satu ini? Kalau terlambat datang, bisa-bisa Pak Arash marah seperti waktu itu. Lagian aku janjinya bimbingan setelah Bang Ian selesai, seharusnya aku langsung mengikutinya saat Bang Ian keluar tadi. Mood Pak Arash bagus kan ya hari ini? Mahasiswa bimbingannya kan sudah selesai satu.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang