"Mas, balik aja yuk?" Ajakku untuk kesekian kalinya. Mas Arash hanya merespon dengan tawanya sembari memegang kemudi. Kali ini ia tak menanggapi pertanyaan yang telah aku ajukan berulang-ulang karena jawabannya tak akan berubah. Mas Arash enggan memutar laju mobilnya.
Kemarin, lama sekali aku duduk di gazebo rumah Mas Arash, menunggu senja datang dan lampu-lampu yang mulai dihidupkan. Pemandangan malam yang indah tampak sangat memukau, meskipun awalnya Mas Arash enggan memperlihatkannya padaku karena semuanya tak lagi menjadi kejutan saat kami mulai tinggal di sini setelah menikah nanti.
Aku bahkan sudah mulai membayangkan bagaimana rasanya jika aku tinggal di rumah itu. Aku tak akan bosan meskipun hanya berdiam diri di rumah, karena aku bisa pergi ke seluruh penjuru rumah yang memiliki kekhasan tersendiri.
Ada dua hal yang masih membuatku penasaran yaitu rooftop di bangunan utama dan lantai dua perpustakaan Mas Arash. Keduanya menyimpan misteri yang belum terungkap karena Mas Arash enggan membawaku ke sana. Pasti pemandangan di sana tak kalah bagus.
Saat malam makin gelap, aku dan Mas Arash berkeliling kota dengan motor miliknya. Melihat dari bentuknya saja aku sudah bisa membayangkan berapa harga motor itu, sama dengan harga mobil. Dia suka sekali ya membeli barang yang mewah?
"Dek, percaya deh. Mereka pasti akan menyambut baik kedatangan kamu."
Mas Arash telah mencari tau tentang ayahku. Ternyata benar, ayah telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Semua info yang aku dapatkan melalui internet adalah kebenaran.
Aku sangat penasaran tentang sosok ayah semenjak kemarin mendapat banyak sekali cerita dari Mas Arash. Kata Mas Arash, ayah adalah orang yang terkenal karena kebaikan hatinya. Apapun yang ia lakukan tak hanya untuk memperkaya dirinya sendiri, tapi untuk membantu orang lain. Itu saja sudah cukup buatku, tapi tidak bagi Mas Arash.
Sempat terjadi perdebatan sengit antara aku dan Mas Arash. Ia mengajakku mengunjungi keluarga ayah kandungku. Aku menolak tanpa pikir panjang, tapi ia tetap memaksaku. Toh buat apa? Belum tentu mereka mengenaliku bukan?
Namun aku tak bisa berkutik tatkala pertanyaan-pertanyaan itu ia ajukan tanpa bisa aku jawab, 'Sampai kapan mau hidup dalam rasa penasaran tanpa tau kebenaran apa yang terjadi? Sampai kapan betah diam sementara dengan bergerak dan membuka mulut, kamu bisa mengetahui banyak hal?' Satu kalimat yang tak kalah penting yaitu, 'Bagaimana kehidupanmu bergantung pada dirimu sendiri dan pilihan yang kamu buat'.
Dengan meluncurnya kata 'Ya' disertai anggukan kepalaku, senyum kepuasan terbit di bibir Mas Arash. Perdebatan itu berhasil ia menangkan karena aku tak mampu lagi melawan.
Aku keluar dari mobil Mas Arash dengan ragu. Apa yang harus aku katakan jika aku bertemu dengan istri dan anak ayah? Tiba-tiba mengaku sebagai anak kandung ayah gitu? Akankah mereka menerimaku dengan baik meskipun tak ada bukti kuat yang menunjukkan kebenaran perkataanku itu?
"Arisha?" Aku mematung di tempatku berdiri tatkala seorang wanita tiba-tiba saja memelukku. Sudut mataku melirik Mas Arash yang menipiskan bibirnya. Baru saja kami mengetuk pintu, sudah ada wanita yang menyambutku dengan girang.
"Kamu kemana aja? Kenapa baru ke sini?" Aku tak bisa menyembunyikan kerutan di dahiku tatkala mengetahui kalau istri ayah sepertinya mengenaliku. "Ayo masuk." Ia merangkul bahuku dan membawaku masuk.
Rumah ini mewah dan besar. Melalui hunian ini saja aku sudah bisa menebak betapa kayanya keluarga mereka.
Aku dan Mas Arash disuguhi minuman beserta kue kering. Netraku tak berpaling menatap wanita paruh baya yang sedari tadi terus memandangiku. Ia masih dengan setianya duduk di sampingku sembari menggenggam erat kedua tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
Literatura FemininaArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...