Rahasia

55.3K 6.3K 241
                                    

"Kenapa sekarang lebih banyak penanggung jawab kelasnya cewek daripada cowok? Padahal kan dulu banyak banget yang cowok." Tanyaku saat pena di tanganku sedang asiknya menari-nari diatas lembaran kuis mahasiswa.

Aku seringkali bertemu dengan para penanggung jawab kelas karena mereka sering menghubungiku saat Pak Arash tak bisa dihubungi. Bahkan mereka menitipkan pesan untuk Pak Arash lewat aku karena takutnya Pak Arash tak sempat memeriksa hp.

Kernyitan di dahiku sering sekali muncul akhir-akhir ini. Apalagi setiap menilai lembaran kuis mahasiswa. Makin lama aku perhatikan, soal kuis makin susah saja. Gak kebayang betapa beratnya adik tingkatku menghadapi mata kuliah ini.

Dulu mata kuliah ini aku pelajari bersama Pak Bayu. Sistemnya hampir sama dengan Pak Arash, dimana ada kuis di setiap pertemuannya. Tapi bedanya pertanyaan Pak Arash itu lebih mengarah ke analisa sementara pertanyaan Pak Bayu lebih sering mengarah ke materi. Sekarang mereka menempuh mata kuliah ini bersama Pak Arash. Kasihan juga ya mereka. Padahal menurutku mata kuliah ini lumayan susah.

"Karena saya gak suka ada banyak pria yang menghubungi kamu." Oke, aku gak akan tanya lagi deh.

Efek kelar ujian langsung memeriksa kuis, jadinya aku merasa sangat mengantuk. Ujian komprehensif benar-benar menyiksaku. Apalagi pembahasannya mengenai banyak materi sekaligus.

"Arisha, udah jadi daftar?" Aku mengangguk karena tau pertanyaan Pak Arash mengarah kemana.

Sehabis ujian komprehensif tadi, aku mendaftar untuk ikut sidang. Selanjutnya hanya menunggu kapan jadwal sidang akan keluar. Kata Pak Arash sih, ada mahasiswa bimbingannya yang akan ikut sidang juga. Mungkin kami akan dijadwalkan pada hari yang sama.

"Kalau ngantuk berhenti dulu." Aku manggut-manggut saja, menyingkirkan lembaran kuis di hadapanku lalu merebahkan kepalaku di atas meja. Kepalaku terasa sangat-sangat berat. Efek begadang semalam nih kayaknya.

"Makanya jangan biasain kebut semalam. Belajar dari jauh-jauh hari." Aku memutar kepalaku menghadap kearahnya. Hanya bagian mata keatas yang bisa aku lihat karena terhalang oleh laptopnya.

"Bapak kayak gak pernah ngerasain enaknya kebut semalam deh. Kalau belajar jauh-jauh hari, jarang nyangkut di kepala. The power of terdesak itu benar adanya, Pak." Walaupun sebenarnya gak kebut semalam juga sih, kan aku sudah belajar sebelumnya. Hanya mengulang-ulang, supaya kembali teringat.

"Arisha, jangan tidur." Baru juga merem.

"Pak, saya boleh izin keluar gak? Mau nyari penyegar mata." Aku menegakkan kepalaku lalu melepas ikatan rambutku. Jari-jariku perlahan menyisir rambut agar terlihat rapi lalu kembali mengikat rambutku. Hari ini sangat panas hingga aku tak membiarkan rambutku tergerai di punggung. Pak Arash yang paham pun tak protes. Biasanya ia akan selalu berkomentar kalau aku mengikat rambutku.

"Emang liat saya gak cukup menyegarkan buat kamu?" Aku mencibir.

"Muka datar gitu gimana mau nyegerin mata, Pak. Yang nyegerin mata itu ya liat cowok yang gampang senyum, ramah, ada roti sobeknya. Langsung melek mata saya liatnya." Ia sedikit menurunkan layar laptopnya sehingga aku dengan jelas bisa menatapnya.

"Saya juga ada roti sobek loh, Sha. Mau liat?" Waduh, gawat ini mah. Kan aku jadi tergiur. Apalagi gratis. Gak perlu modal kuota.

"Pak Ujang juga banyak jual roti sobek, Pak." Balasku.

"Yaudah sana! Jangan lama-lama."

Aku berdiri dengan semangat. Apalagi saat keluar dari ruangan Pak Arash, mataku langsung terbuka dengan lebar. Aku ingin ngemil enak di kantin. Walaupun nanti pasti akan makin ngantuk setelah perutku terisi penuh.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang