Gombalan Pak Arash

56.1K 6.3K 226
                                    

Ketika keluar dari ruangan, aku disambut oleh beberapa orang temanku yang bersorak karena aku dinyatakan lulus dan berhasil memperoleh gelar sarjana, meskipun belum resmi. Fiona memelukku erat, seraya mengucapkan selamat tak henti-hentinya.

Aku berusaha menahan air mataku yang ingin keluar. Sejak di dalam ruangan tadi mataku sudah berkaca-kaca, tepat setelah bersalaman dengan para penguji dan dosen pembimbing. Aku keluar dengan perasaan senang sekaligus sedih, tentu saja kesedihan adalah yang dominan.

Salempang beludru dengan bertuliskan Arisha Khairina Mahveen, S.Mb. Inilah hasil dari perjuanganku selama empat tahun ini. Tak terhitung banyaknya pengorbananku untuk berada di posisi ini. Meskipun harus bekerja keras membanting tulang disaat otakku sedang diasah, tapi aku berhasil melewati semuanya.

Mungkin bagi segelintir orang, ini hanyalah ajang untuk mendapatkan gelar. Tapi bagiku, ini adalah fase dimana aku tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Orang mungkin tak terlalu berambisi mengejar nilai bagus. Tapi bagiku, nilai bagus adalah tolak ukur dari perjuanganku. Dengan nilai bagus itu juga, beasiswa yang aku dapatkan bisa berlanjut hingga aku lulus.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini lumayan banyak yang datang memberikan ucapan selamat padaku. Terutama beberapa teman sekelasku. Ada yang membawakan bunga, boneka, dan ada pula yang memberikan buket makanan.

Bukan hanya aku yang sidang hari ini, ada kakak tingkatku bernama Lala yang juga lulus karena bimbingan Pak Adnan dan Pak Arash. Kami berdua sama-sama baru selesai dibantai, kemudian diberikan angin segar yang menciptakan rasa senang, apalagi kalau bukan kabar kelulusan.

"Foto sama pembimbingnya enggak nih?" Seru Pak Adnan begitu ia keluar dari ruangan panas itu diiringi oleh Pak Arash di belakangnya.

Berbeda dengan Pak Arash yang cenderung kaku, Pak Adnan itu tipe dosen yang humble. Pembawaannya ramah dan santai. Tapi setiap perkataan yang ia lontarkan itu terucap dengan nada ketegasan.

Aku dan Kak Lala kontan mengatur posisi dengan berdiri bersebelahan, yang diapit oleh Pak Arash dan Pak Adnan, bersiap untuk berfoto. Maklum, kami berdua adalah makhluk cebol. Pak Adnan dan Pak Arash lebih tinggi daripada kami, tak mungkin juga berada di pinggir karena hasilnya nanti tidak akan bagus.

"Senyum yang lebar, Pak." Terdengar seruan dari kerumunan dimana beberapa orang memegang hp mereka siap untuk mengambil foto.

Beberapa kali momen yang akan menjadi kenangan di detik berikutnya berhasil diabadikan. Selagi kami difoto, aku merasakan kalau Pak Arash yang berdiri di sampingku mengusap punggungku. Entah apa tujuannya, tapi aku merasa jadi lebih baik. Embun pekat di mataku juga sudah mulai hilang, digantikan dengan sorot bahagia di mataku. Terakhir, kami kembali bersalaman dengan kedua dosen pembimbing itu sebelum mereka melanjutkan langkah pergi.

Satu persatu teman-temanku meminta untuk berfoto denganku, sebagai kenang-kenangan. Ada juga sesi foto bersama yang tak kalah hebohnya. Farhan dan Fiona adalah yang paling antusias, sudah pasti itu.

Seseorang yang juga tak absen hari ini adalah Bang Ian. Ia datang dengan membawa sebuket bunga sebagai hadiah untukku. Kami juga sempat berfoto, tapi suasananya lebih canggung dari sebelumnya karena aku yang sedang menjaga jarak.

"Berarti kita wisudanya sama ya, Sha?" Celutuk Bang Ian saat aku dibantu oleh Fiona dan Farhan sedang memasukkan hadiah-hadiah yang aku dapat ke dalam plastik berukuran besar supaya gampang membawanya.

"Iya, dua mingguan lagi kan?" Ia mengangguk. "Gue udah siapin beberapa persyaratannya. Karena udah selesai sidang makanya semua persyaratan udah terkumpul. Besok gue langsung daftar soalnya minggu ini terakhir." Jelasku panjang lebar.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang