"Dek, jangan yang itu. Pedes." Aku merengut sebal mendengar larangan Ibu ketika aku hendak melahap makanan di depanku.
"Tapi Adek mau coba juga. Kenapa Adek dilarang tapi Abang enggak?" Kesalku.
"Adek masih kecil, belum kuat makan pedes." Aku mengerucutkan bibir karena perkataan Ayah.
"Biar Abang buang cabenya dulu, abis itu Adek makan ya? Nanti sakit perut kalau makan cabe banyak gini." Senyumku langsung mengembang. Aku mengangguk semangat lalu memeluk singkat saudaraku itu. "Makasih Bang."
Aku memperhatikan Bang Satria yang telaten menyingkirkan cabe dengan nasi di piringnya. Ia terlihat sangat teliti, seakan enggan ada cabe tersisa.
Elusan di rambutku membuatku tersenyum. Aku menusuk daging di piringku lalu menyodorkannya pada Bang Satria, sebagai ucapan terima kasih. Ayah tampak tak terima, lalu mengarahkan suapanku kearah mulutnya.
"Ayahhhh." Regekku. Mereka serentak tertawa.
Aku tersentak kaget sontak menegakkan badanku. Mataku rasanya sangat berat sampai susah untuk dibuka. Mimpi apa itu barusan? Ah, itu bukan mimpi. Aku ingat semuanya dengan jelas. Hal itu memang pernah terjadi.
Setelah berhasil menyesuaikan cahaya lampu yang masuk, barulah kedua netraku mulai memperhatikan sekitar. Kamar dengan dinding serba putih yang luas. Setelah selesai mengumpulkan nyawa, aku tersadar kalau ini bukan kamarku, karena kamarku tak seluas ini. Aku dimana ya?
Dahiku mengeryit bingung, berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Seingatku kemarin aku pergi ke kondangan bersama Pak Arash, lalu kami singgah ke restoran untuk makan. Setelah itu...
Mataku membulat kaget. Kenapa bisa aku meraung-raung kemarin? Seperti seorang pacar yang baru saja diputuskan. Apalagi di tepi jalan. Walaupun gak ramai, pasti ada orang yang melihat kan? Siapa yang semalam memelukku dan menenangkanku? Kenapa aku bisa ada disini? Ini rumah siapa?
Pakaian yang aku kenakan masih pakaian yang kemarin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa semalam. Tapi aku masih belum tau ini dimana.
"Kamu sudah bangun?" Aku terperanjat, hampir saja jatuh dari tempat tidur saat mendapati Pak Arash yang tiba-tiba saja nongol di pintu. Kenapa Pak Arash ada disini?
Menangis saja Arisha, saya disini untuk kamu.
Aku meringis malu, tak mampu menatap Pak Arash ketika kata-kata itu kembali menggema di ingatanku. Benar, yang semalam memelukku adalah Pak Arash. Aku ingat suaranya. Tapi setelah menangis, aku tak ingat apapun lagi selain aroma memabukkan yang membuatku terasa sangat nyaman.
"Arisha?"
"Ah iya, Pak." Aku segera beranjak dari kasur dan berdiri dengan tegap, layaknya seorang tentara yang kedatangan atasan. Pak Arash melihatku seraya menahan senyumnya, membuatku tersadar dan segera merapikan rambutku yang kusut. Aku semalam tidurnya gak ngorok kan ya? Ileran gak sih?
"Saya pamit dulu, Pak. Terima kasih." Aku menunduk pamit hendak keluar. Tapi Pak Arash menghalangi pintu sehingga tak ada tempat untuk keluar.
"Siapa yang nyuruh kamu pergi?" Aku menggigit bibir gugup. Kenapa semuanya jadi kacau begini? Sama seperti perasaanku. Hanya gara-gara kejadian kemarin.
Aku yang awalnya berstatus seorang mahasiswa, bersandiwara dengan dosenku dan mengaku sebagai pacarnya. Ah bukan, dia yang mengakui aku sebagai pacarnya. Lalu aku menangis di pelukannya dan sekarang terbangun di rumahnya. Kenyataan macam apa ini?
"Mandi dan ganti baju kamu." Perintahnya. Aku tak akan membiarkan semuanya berlanjut. Sudah cukup kejadian semalam, jangan sampai ada kejadian lain yang membuat semuanya makin kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...