"Dek." Kepalaku langsung tegak saat mendengar sapaan hangat itu. Sebuket bunga tulip berwarna ungu ia bawa di tangannya.
Hari ini Satria tampak berbeda dengan pakaian santai yang ia kenakan. Kalau aku perhatikan, Satria berubah banyak sejak ia pergi beberapa tahun lalu. Posturnya lebih tinggi dengan badan yang lebih kurus.
Satria menaruh bunga itu diatas nakas. Sudah barang tentu ia tau bunga itu adalah bunga kesukaanku, sama seperti kesukaan Ibu. Dia belum lupa ya ternyata.
Mas Arash memberi isyarat supaya Satria duduk di kursi samping kananku. Sementara ia hanya berdiri melihat kecanggungan antara kami berdua.
"Silahkan ngobrol. Saya tunggu di luar." Ucapnya seraya menatap Satria.
"Mas?" Langkahnya terhenti dan berbalik menatapku dengan sebelah alis yang naik. "Kamu gak papa kok di sini. Kamu harus tau semuanya." Nada bicaraku yang sangat pelan membuat ia kembali melangkah mendekat. Kursi ia ambil dan duduk di samping kiriku.
Aku hanya takut kalau aku tau bisa mengendalikan diriku saat mendengar penjelasan Satria. Setidaknya Mas Arash harus menjadi penengah. Lagian, aku juga ingin bercerita banyak hari ini mengenai kehidupanku. Mas Arash harus tau semuanya.
"Dek, Ayah gak bilang alasan gue pergi?" Mataku yang awalnya menatap lurus, langsung menoleh mendengar pertanyaan Satria. Aku merasakan perubahan signifikan pada jantungku hanya karena satu kalimat itu.
"Maksud lo apa? Lo pergi sama Ayah tanpa bilang apapun. Hari itu Ayah beresin semua baju dan hari itu juga lo pergi tanpa jelasin apapun." Baru saja mulai berbicara, aku sudah merasakan kalau air mata ini telah berkumpul di kedua netraku. Satria menghela nafas berat. Kepala yang awalnya tertunduk menyesal itu pun mulai tegak memandangiku.
"Ayah bilang kalau Ayah udah jelasin semuanya ke elo. Ayah bilang kalau gue gak perlu lagi jelasin. Yang ada lo makin sedih karena gak bisa lepasin gue." Apa maksudnya? Aku tak mengerti.
"Bang..." Aku menggigit bibir bawahku saat kata yang menjadi panggilanku untuknya tak sengaja aku ucapkan. Aku sudah berjanji tak akan memanggilnya dengan sopan sebelum aku paham apa yang terjadi. "Ayah mau lo ikut dia, dan nyuruh gue rawat Ibu yang sakit-sakitan. Itu maksud lo?" Satria menggeleng cepat.
"Lo yakin gak denger apapun dari Ayah?" Kenapa dia terus mengulangi perkataannya?
"Satria, walaupun saat itu gue masih SMP, tapi gue ingat kalau Ayah gak ada jelasin ke gue. Lo gak lagi ngarang cerita kan?" Sekarang ia mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Kenapa sih?
Kepala itu kembali berdiri dan ia langsung mengambil tanganku untuk digenggam. Aku memberontak, tapi ia tak melepaskannya.
"Lo inget saat gue daftar beasiswa?" Tentu saja aku ingat. Karena aku dulu memperhatikan apapun yang ia lakukan. Berbagai macam berkas ia tata dengan sangat baik sementara aku hanya bisa menatap karena tak terlalu paham. Tunggu dulu, dia mendaftar beasiswa untuk kuliah di Amerika. Itukah alasan kenapa dia ada di sana?
"Lo lulus dan pergi karena hal itu?" Satria mengangguk mantap. "Kenapa lo gak bilang apapun ke gue?" Ah, Ayah. Lagi-lagi Ayah. Pasti semuanya karena Ayah.
"Demi Tuhan, gue udah bilang sama Ayah kalau gue akan jelasin sama lo. Tapi Ayah larang gue karena Ayah udah bilang ke elo. Gue sama sekali gak tau kalau lo nangis waktu itu gara-gara hal lain. Percaya sama gue. Gue gak ada maksud buat ninggalin lo sama Ibu gitu aja." Aku melepas genggamannya dan mengusap wajahku dengan tangan gemetar.
Selama ini Ayahlah yang salah. Kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan Satria adalah karena Ayah. Apa tujuan Ayah sebenarnya? Bagaimana bisa Ayah menciptakan permusuhan diantara anak-anaknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...