"Jangan bahas lebih lanjut ya." Aku kembali mengatupkan mulut yang sempat terbuka hendak bertanya sesuatu. Jika Pak Arash sudah mengatakan hal ini, berarti pembahasan mengenai keluarga adalah hal yang sensitif buatnya. Aku menghormati itu dengan memaksa mulutku bungkam. Saat waktunya tiba, ia pasti akan bercerita tanpa perlu aku tanyakan.
Tapi kalau dipikir-pikir, Mama Pak Arash meninggal 12 tahun yang lalu. Sementara umur Fania di atasku. Orang tuanya bercerai? Atau Papanya poligami kah? Apa ini yang membuat Pak Arash memilih untuk tinggal sendiri?
Aku memandang Pak Arash yang menyorot lurus kearah depan. Raut wajahnya berubah total. Padahal tadi dia sedang giat-giatnya menggodaku. Seharusnya aku tak bertanya tadi karena pertanyaan ini ternyata menyinggung perasaannya. Aku jadi merasa bersalah.
"Perasaan saya gak punya tanaman deh di sini." Ia sedang berusaha membangun moodnya lagi.
Ada kaktus di dalam pot putih yang berada di atas meja. Aku yang membawanya tadi, sebagai hadiah. Ia mengangkat pot tersebut lalu menemukan sebuah surat di bawahnya.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, berusaha tak melihat ekspresinya. Karena aku malu kalau ia membaca isi surat yang aku tuliskan untuknya. Tak aneh-aneh sih sebenarnya, tapi tetap saja aku malu. Apalagi ia sudah mulai senyum-senyum sendiri saat membuka surat itu.
"Silahkan ajukan 3 permintaan, apapun itu akan aku kabulkan. Dengan syarat: tidak bertentangan dengan agama dan tidak melawan hukum." Matanya mengarah padaku, tapi aku bersikap seolah-olah tak tau apapun. "Beneran nih?" Aku mengangguk singkat, masih enggan mengubah arah kepalaku.
"Abisnya aku gak tau mau ngasih kado apa. Mas bisa beli apapun yang Mas mau. Makanya ngasih itu aja." Aku meliriknya dengan sudut mataku penasaran bagaimana responnya.
Pak Arash merebahkan dirinya di sandaran sofa kemudian menatap kearah langit-langit. Sudut bibirnya perlahan ia tarik keatas membentuk seringai.
"Yakin nih, Arisha?" Ia menoleh padaku. Yang penting aku sudah kasih persyaratannya, dia tak boleh melanggar larangan itu.
"Iya, tapi jangan aneh-aneh ya." Peringatku. Ekspresinya tampak mencurigakan buatku, maklum aku tak pintar membaca pikiran orang. Hanya bisa menduga-duga dan menerka.
"Tapi yang aneh-aneh gak ada di persyaratannya tadi. Salah sendiri gak nulis begitu." Firasatku jadi tidak enak. Kenapa aku harus membuat surat itu sih? Bukankah kaktus saja sudah cukup? Penyesalan memang selalu diakhir.
"Jangan yang aneh-aneh pokoknya." Aku memiringkan badan menghadap padanya. Pak Arash itu kadang suka licik, jadi harus diwanti-wanti sejak awal.
"Yang aneh itu seperti apa, Arisha?" Ia mengulum senyumnya.
"Ya gak tau." Pokoknya yang aneh deh. Walaupun definisi aneh bagi setiap orang itu berbeda-beda.
"Ini waktunya kamu jawab pertanyaan saya yang tadi. Kamu potong rambut?" Aku justru heran kenapa dia ngeh kalau aku potong rambut. Padahal tak banyak yang dipotong.
"Dikit kok, buat rapiin aja. Fiona pesan tempat di salon sama Kakaknya, eh Kakaknya mendadak gak dateng makanya ia maksa aku buat ikut. Gak bisa nolak juga." Jelasku. Lagian sudah dibayar pula, sayang uangnya terbuang percuma. Makanya aku mau ikut, mumpung gratis.
"Bagus kok. Asal jangan dipotong pendek aja. Liat kamu seperti pegawai kantoran bikin saya pangling." Gombal mulu bisanya.
Aku bahkan sengaja memakai pakaian beserta kalung yang ia belikan, tujuannya agar dia senang.
"Cocok kan ya?" Celutukku. Memakai pakaian kantor berasa derajat sedikit terangkat, walaupun cuma sementara. Karena kenyataannya aku masih berstatus mahasiswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...