Keluarga yang Sesungguhnya?

46.2K 6.3K 512
                                    

"Uhuk uhuk."

Aku merasakan usapan pada punggungku saat air keluar dari mulutku. Aku terus terbatuk hingga merasakan pernafasanku mulai berjalan normal. Apa yang terjadi?

"Arisha?" Aku mengerjap pelan, lalu menemukan sepasang bola mata yang tengah mengarah padaku. Wajahnya juga basah, sama sepertiku.

Dia mendekapku seakan tak ingin kehilanganku. Helaan nafas lega terdengar berulang kali lolos dari mulutnya. Ia menarik tubuhku semakin dekat pada tubuhnya yang juga basah kuyup.

"Fiona cepat handuknya!" Teriaknya kemudian. Sebuah handuk putih besar segera dibalutkan Mas Arash ke tubuhku.

"Kita ke rumah sakit ya?" Aku menggeleng pelan. Tak perlu ke rumah sakit, aku hanya syok tadi. Seumur-umur baru sekali aku merasakan tak bisa bernafas seperti tadi. Aku kira aku akan mati.

Mas Arash mengusap wajahku yang basah. Tetes-tetes air juga turun dari rambutnya yang sudah tidak rapi seperti tadi.

"Usir tamu Papa sekarang atau saya yang akan bertindak." Tekannya tanpa ragu.

"Arash, aku gak dorong dia." Aku terlalu muak mendengar suara wanita ini. Andai saja dia tak mendorongku tadi, baku hantam dengannya pun aku rela. Tapi sayangnya dia lebih dulu menyerang kelemahanku.

"Perlu gue panggil Pak Dion buat nunjukin cctv nya? Di sini cuman ada lo brengsek!" Teriak Mas Arash dengan mata menyala. Marahnya sangat mengerikan. "Papa cuma mau diam di situ?" Aku tak tau Pak Janu berada dimana, tapi sepertinya ia berada di belakangku karena Mas Arash dari tadi menghadap ke sana.

"Oke. Pak Dion kirim rekaman cctv ke kantor polisi sekarang!" Entah siapa yang ia perintahkan, aku pun tak tau karena masih berusaha menetralkan denyut jantungku dan berusaha untuk bernafas dengan teratur. "Percobaan pembunuhan, cukup lah buat jerat lo selama beberapa lama di penjara."

"Arash, aku gak tau dia gak bisa berenang." Ingin rasanya menyumpal mulut wanita ini. Mendengar suaranya saja membuatku dongkol. Aku ingin sekali membalas perlakuannya padaku, tapi sudah ada Mas Arash yang membelaku. Aku hanya perlu menyerahkan semuanya padanya.

"Jadi lo udah ngaku sekarang kalau lo yang dorong?" Matanya menatap tajam kearah samping, menandakan Nadin berada di sana. "Gue gak peduli lo tau dia bisa berenang atau enggak, yang jelas lo udah coba bunuh dia. Masih gak paham lo?" Mas Arash berdiri dan mendekat kearah Nadin. Kepalaku lantas mendongak menatap mereka.

"Angkat kaki sekarang atau gue yang nyuruh polisi buat bawa lo. Gue udah bilang kan jangan pernah sentuh dia atau lo akan tau akibatnya. Lo lupa?" Mas Arash mencengkeram erat lengan wanita itu hingga ia meringis.

"Arash, sakit." Jeritnya.

"Mas, udah." Pintaku. Aku tak sudi dia memegang tangan wanita licik itu.

Mas Arash melepaskan genggamannya dengan kasar lalu kembali berjongkok di depanku. Dia tak peduli perempuan ataupun laki-laki. Yang jelas saat marah pada siapapun, dia akan selalu menumpahkannya.

Bunyi hentakan kaki menandakan kalau Nadin sudah pergi. Aku mengusap wajahnya yang basah, membuat senyum di bibirnya terbit. Semudah itu baginya berganti ekspresi.

"Fiona, ambilin baju buat Arisha. Bawa ke kamar gue." Ia memposisikan lengannya di tengkuk dan bawah lututku.

"Mas, aku bisa jalan kok." Aku menyingkirkan tangannya, tapi ia masih saja kekeuh untuk mengangkatku.

"Fiona, gak pake lama." Perintahnya sebelum akhirnya membopongku masuk dan menaiki tangga menuju lantai dua.

Kamar dengan nuansa yang hampir sama dengan kamar miliknya di apartemen. Terlihat sangat nyaman walaupun dindingnya sangat sepi. Tak ada satupun yang tertempel untuk menjadi hiasan. Kamar ini tampak hampa.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang