Eh?

51K 6.2K 411
                                    

Sudah berhari-hari aku dan Mas Arash mencari keberadaan Ayah, tapi Ayah seperti hilang ditelan bumi. Setauku, ia masih tinggal di rumah tempat aku ditinggal Ibu dulu. Tapi ternyata dia sudah berbulan-bulan juga tak kembali kesana, begitu kata Ibu yang punya kontrakan.

Aku jadi tak enak pada Mas Arash. Semuanya masih ditunda hingga kami menemukan Ayah. Dia pun tak mau melanjutkan selama kami belum memberitahu Ayah terkait rencana ini.

Sekarang semuanya diserahkan kepada bawahan Mas Arash saja. Aku dan Mas Arash hanya menunggu informasi. Lagian tak mungkin juga kami terus-terusan mencari sementara pekerjaan Mas Arash juga banyak.

"Dek." Aku menoleh kearah Mas Arash yang sedang memasang dasinya. Bukan pertama kali aku disuruh datang pagi-pagi ke apartemennya. Katanya, pekerjaanku dimulai dari menyiapkan sarapan pagi untuknya dan diakhiri dengan makan malam bersamanya. Selalu seperti itu.

"Kenapa?" Tangannya dengan terampil memasangkan dasi sementara tatapan itu tak putus dariku. Ia tersenyum kecil sebelum akhirnya menatap dasi yang sudah terjalin rapi itu.

"Gak papa nyapa aja." Ck. Lagi-lagi dia begini, hampir setiap waktu. Seolah-olah dia hanya ingin aku fokus padanya sebentar. "Kamu cocok rambut begini." Kata-kata itu bahkan sudah sangat sering aku dengar keluar dari mulutnya. Dia tak bosan apa ya mengatakan hal yang sama? Apa karena sudah tua makanya jadi pikun seolah-olah perkataan itu baru pertama kali ia katakan?

Makin lama poniku makin panjang. Karena ingin tampil beda, makanya aku membiarkannya semakin panjang. Sekarang aku persis seperti seorang wanita dewasa. Tampil dengan belahan pinggir dan rambut tergerai. Walaupun kadang aku ikat karena kegerahan. Mau gimana lagi? Mas Arash itu tak suka melihat aku mengikat rambutku. Entah apa alasannya.

Aku juga memakai pakaian ala kantoran yang tampak rapi, mengimbangi pakaian Mas Arash yang pastinya selalu apik. Terutama untuk acara penting seperti meeting ataupun acara formal lain. Jika hanya ke kafe ataupun memantau bisnisnya, aku hanya memakai kemeja dan celana biasa.

"Hari ini ikut ke kampus aja ya?" Aku menatapnya garang, namun kedua alisnya tetap naik turun untuk membujukku. Dia pikir mempan menggunakan cara itu?

"Mas, aku bilang apa semalam?" Bahunya meluruh. Ia menarik salah satu kursi di meja makan lalu duduk dengan wajah tertekuk.

Aku sudah menolak diajak ke kampus karena aku tak mau kami berdua menjadi bahan obrolan. Kampus masih jadi tempat terlarang untuk kami meskipun hanya ia yang memiliki posisi di sana. Sementara aku sudah tidak berstatus mahasiswa lagi.

"Dari pagi sampai sore loh aku di kampus. Masa kamu di kafe doang nungguin?" Biasanya memang selalu seperti ini. Kalau ada agenda mengajar ataupun rapat di kampus, ia hanya pergi sendiri. Sedangkan aku menunggu di kafe tanpa ada kerjaan yang pasti.

"Mas, aku gak mau kamu jadi bahan pembicaraan." Berita Mas Arash menjadi ketua yayasan saja masih sering dibicarakan sejak wisuda waktu itu. Kalau tiba-tiba ada aku yang muncul mengikutinya, apa kata orang-orang?

"Aku yang punya kampus kok." Aku juga tau dia yang punya!

"Kalau orang tanya kamu mau jawab apa coba?" Aku menyodorkan sepiring nasi goreng padanya, yang ia sambut dengan senyuman lebar. Satu lagi peraturan yang ia tetapkan, sarapan adalah hasil masakanku, bukan dibeli. Kalau ketahuan, maka hukumannya adalah menginap di apartemennya. Bos mah bebas menetapkan peraturan apapun sesuai dengan kehendaknya. Aku tak dibiarkan protes sedikitpun.

"Tinggal bilang kalau kamu naik pangkat jadi asisten pribadiku." Mas Arash menyuapi mulutnya dengan semangat. Sembari mengunyah, ia masih menatapku untuk menunggu jawaban keluar dari mulutku. "Kita gak perlu lagi kucing-kucingan. Kan nanti akan ada lagi berita yang lebih heboh, yaitu pernikahan kita." Iya juga ya. Toh sama saja, tetap jadi bahan omongan juga. Cuma perihal waktunya saja.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang