Upik abu memang tidak ditakdirkan berada disini. Buktinya sejak baru saja masuk, aku sudah disuguhkan dengan pemandangan puluhan pasang mata yang menatap kearahku dan Pak Arash. Mereka seperti melihat si tampan dan si buruk rupa. Terlihat jelas dari wajah bingung dengan dahi penuh lipatan.
Sorot mata para wanita menatap Pak Arash dengan tatapan mendamba. Sementara para pria, boro-boro mau menatapku, mereka juga ikut memperhatikan Pak Arash karena merasa insecure. Dunia ini bukan tentang Pak Arash doang kan ya? Apa akunya aja yang merasa kalau semuanya selalu tentang Pak Arash?
"Pak, jangan lama-lama disini ya Pak." Bisikku. Ia berdecak kesal lalu menghentikan langkahnya. Kedua netra itu menatapku datar.
"Sudah saya bilang jangan panggil Bapak. Sekali lagi kamu panggil begitu, saya kurangi gaji kamu ya." Ngancem lagi.
'Sabar, Sha.' Batinku menyemangati. Harus kuatkan hati, sampai keluar gaji. Hidup cuma sekali, jadi harus dinikmati. Walau sering dicaci dan dibenci, tapi jangan jadi dengki.
Aku manggut-manggut aja. Palingan aku akan tetap diam selama disini. Tak ada satupun yang aku kenal di ruangan ini. Maklum sih ya, beda kasta.
Gedung ini disulap sedemikian rupa dengan dekorasi yang indah dan sudah pasti mewah. Ribuan tamu hadir dengan gaya terbaik mereka, seakan bersaing mana yang lebih terlihat mewah dibandingkan dengan yang lainnya. Tapi tetap saja, raja dan ratu hari ini adalah pemenang utamanya.
"Kita cuma sebentar, ucapin selamat sama pengantin lalu keluar. Yang penting udah absen wajah." Kepalaku mengangguk lagi.
Undangan itu ibarat utang. Kalau kita gak hadir, ngerasa gak enak. Apalagi sama orang yang dikenal. Nanti ujung-ujungnya disebut-sebut di kemudian hari.
Sejujurnya aku pun tak terbiasa makan di tempat seperti ini. Walaupun makanan yang disajikan tampak menggugah selera, namun gengsiku menang kali ini.
Gak makan pun gak masalah, asalkan cepat pergi dari sini. Apalagi banyak pasang mata yang menatap seakan hendak memakan Pak Arash. Kalau memang Pak Arash doang yang dimakan mah gak papa, tapi kalau aku juga dianiaya bagaimana? Siapa lagi kalau bukan para singa betina yang lapar.
"Pak, ini bukan nikahan mantan pacar Bapak kan ya?" Pak Arash mencengkram erat tanganku yang sedari tadi berada di genggamannya hingga aku meringis.
"Ampun, gak akan ngomong lagi deh." Bisikku. Setelah itu barulah genggamannya mengendur.
Aku dan Pak Arash langsung masuk ke dalam antrian, ingin bersalaman dengan kedua mempelai. Jangan tanya sepanjang apa antriannya, sebelas dua belas sama antrian sembako.
Saat tiba giliran kami, mereka menyambutnya dengan sumringah. Mempelai pria lebih dulu memeluk Pak Arash dengan senyum lebar di wajahnya. Ini artinya mempelai pria yang kenal dengan Pak Arash. Ah, atau mungkin keduanya?
"Gue kira gak jadi datang lo." Pria itu menepuk-nepuk punggung Pak Arash sebelum melepaskan pelukan mereka.
"Yang ada lo bakal ngamuk kalau gue gak datang." Sahut Pak Arash cuek. Mendengar percakapannya saja sudah membuatku yakin kalau mereka cukup dekat.
"Elo sih, masa sahabatnya nikah tapi ogah dateng? Padahal gue mau kenalin lo ama seseorang." Sesaat ia tampak merutuki ucapannya saat tak sengaja melirik kearahku. "Lo bawa gandengan? Demi apa seorang Arash bawa gandengan?" Lanjutnya seakan tak percaya.
Oke, dapat disimpulkan bahwa Pak Arash emang gak punya gandengan, makanya terpaksa membawaku. Tipe kayak gini nih musti dicurigai. Memang gak go public, tapi jangan-jangan hpnya seperti asrama putri.
"Bacot." Pak Arash tau bacot juga? Kirain enggak. Ia memberi isyarat dengan bola matanya supaya aku bersalaman dengan sahabatnya itu.
"Selamat ya, Mas. Semoga jadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah." Raja dan ratu itu serentak mengaminkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...