Kila
Kakak ke sekolah Kila aja gimana? Sekalian jemput Kila, terus kita lanjut pergi deh.Pesan terakhir yang dikirimkan Kila langsung aku setujui. Sebab, aku pun memang sedang longgar hari ini. Kerjaan dari Pak Arash tidak ada, dan aku pun libur karena sekarang hari Sabtu.
Beberapa hari lalu aku dan Kila berencana untuk nge-mall bareng. Kila memintaku untuk menemaninya membeli kado yang akan ia hadiahkan untuk Papanya, siapa lagi kalau bukan Pak Arash.
Katanya Pak Arash akan berulang tahun kira-kira tiga minggu lagi. Itu sebabnya ia ingin mencari kado. Jujur, aku baru tau kalau Pak Arash akan berulang tahun. Kalau tiga minggu lagi berarti itu awal tahun. Tanggal pastinya aku tidak tau.
Sebenarnya masih lama sih. Tapi Kila ngotot pergi karena dia sejujurnya tidak yakin akan mendapatkan kado hari ini. Kalau ia tidak berhasil menemukan kado itu, maka minggu depan ia akan pergi lagi. Entah karena bingung memilih kado apa untuk Pak Arash atau mungkin tak tau apakah Pak Arash bakal suka atau tidak.
Senin Kila sudah UAS, sama sepertiku. Kami akan menghadapi hari-hari sibuk. Makanya memilih hari Sabtu. Supaya hari Minggu bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian.
Aku baru saja sampai di sekolah tempat Kila menuntut ilmu. Dari luar gerbang saja sudah tampak betapa mewahnya sekolah ini. Suasana tampak ramai karena sepertinya kelas baru saja dibubarkan. Para siswa mulai berhamburan keluar dari gerbang.
Belum terlihat tanda-tanda adanya Kila, padahal sekolah sudah mulai sepi. Kemana dia? Apa dia lupa? Pesan yang aku kirimkan padanya juga tak dibalas dari tadi.
Hpku bergetar, ada panggilan dari Kila. Apa dia ada acara mendadak sehingga tak jadi pergi?
"Kila? Kamu..."
"Kakak..." Terdengar isak tangis dari seberang. Apa yang terjadi dengannya? "Kakak bisa kesini bentar gak? Kila takut nelpon Papa, nanti Papa marah." Kila berusaha sangat keras menahan isak tangisnya agar bisa berbicara dengan jelas. Ada yang tidak beres.
"Kila dimana? Kakak kesana sekarang." Sahutku seraya memperhatikan sekeliling.
"Di depan ruang guru."
Setelah ia merespon, aku segera berlari menuju tempat yang Kila beritahu. Sempat bertanya pada seorang siswa, akhirnya aku menemukan dimana ruang guru itu berada.
Tampak para siswa mengerumuni orang yang sedang marah-marah. Suara makian terdengar menggema. Aku mempercepat langkahku, menembus kerumunan itu dan menemukan Kila yang menjadi sorotan.
"Kamu mau nyuri kalung anak saya?" Teriak seorang Ibu yang berusia sekitar 40 tahunan.
"Gak, Bu. Saya..."
"Kamu juga liat kan leher anak saya jadi luka gara-gara kamu. Kamu gak diajari orang tua kamu cara bersikap, hah?" Potong Ibu itu.
Kila yang berdiri di depannya hanya bisa diam dengan kepala menunduk menatap sepatunya. Tangannya berulangkali terangkat untuk mengusap pipinya yang basah. Ada apa ini?
"Ah, saya lupa. Kamu kan gak punya orang tua. Pantas saja gak ada etika. Kelakuan bebal layaknya preman. Yatim piatu memang selalu tampak berbeda." Kila hanya diam, tak mampu menjawab apapun. Air matanya terus bercucuran seakan enggan untuk berhenti.
"Tolong tarik kata-kata yang Ibu ucapkan barusan, sekarang!" Selaku. Tatapan seketika mengarah padaku. Kila yang sadar akan kedatanganku sontak mendekat dan memegangi lenganku dengan tangan gemetar.
"Siapa kamu ikut campur?" Wali murid itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala, seperti menilai. "Pantesan kelakuan adeknya kayak gitu, kakaknya aja begini." Sudut bibirku tertarik keatas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...