Ketahuan

55.5K 6.2K 196
                                    

Dewa Ares
Arisha, tolong antar flashdisk yang ada di meja saya, warna hitam. Saya lupa bawa tadi. Segera ya.

Aku menggertakkan gigi kesal karena lagi-lagi mendapat perintah. Pagi tadi aku disuruh cepat datang ke kampus hanya untuk menemaninya sarapan. Padahal jadwal bimbinganku pukul sembilan lewat, setelah ia selesai mengajar. Aku cuma bisa bengong sambil menunggu ia selesai mengurusi mahasiswanya.

Sekarang, baru saja ia mulai mengajar lagi, aku sudah dapat perintah baru. Padahal saat ini aku sedang nangkring di perpustakaan fakultas. Kenapa gak nyuruh dari tadi coba? Itulah anehnya dia.

Untungnya di perpustakaan fakultas sih. Kalau di perpustakaan utama, bisa berabe. Apalagi jaraknya jauh dari gedung fakultasku.

Pak Arash memberikan aku kunci ruangannya beberapa hari lalu, entah apa tujuan pastinya. Mendadak aku teringat saat pertama kali masuk ke ruangan ini. Dia sedang mengajar tapi ruangannya tidak ia kunci. Tau apa alasannya? Karena dia sengaja menyuruhku ke sini, begitu katanya. Aku dikibuli, tapi aku tak sadar saat itu.

Lagian meskipun tidak dikunci, tak masalah. Karena berkas penting selalu ia bawa. Andaikan ada yang masuk ke sini, pasti juga tampak di cctv. Kalau dipikir-pikir, mungkin wajahku lah yang sering masuk cctv karena sering sekali masuk ke ruangannya.

Dewa Ares
Arisha, saya mau ngajarnya sekarang loh. Ruangan 3F ya.

Ruangan 3F itu artinya di lantai tiga. Karena masih pagi saat semester baru pula, tentu saja lift ramai. Oke, tangga darurat adalah pilihan terakhir.

Tok tok tok!

Aku membuka pintu hingga menciptakan sedikit celah. Benar, ini adalah ruangan tempat Pak Arash berada. Ia sedang mengajar adik tingkatku. Beberapa wajah di sini tampak tak asing buatku karena mereka memang sering bertegur sapa denganku.

"Masuk Arisha!" Kenapa harus disuruh masuk segala sih? Padahal tinggal diambil flashdisknya dan urusan langsung selesai. Pak Arash itu suka sekali membuat ribet sesuatu yang sederhana.

Dengan sedikit menahan kedongkolan, aku terpaksa masuk ke dalam ruangan itu. Ah, jadi teringat masa-masa aku sedang belajar dulu. Sekarang mah kerjanya ngejar-ngejar dosen pembimbing mulu. Eh tapi dosen pembimbingku juga mengejar-ngejar aku loh, tapi Pak Arash saja. Pak Adnan mah enggak, haha.

Hanya sekali aku belajar dengan Pak Arash, yaitu saat semester 7. Sementara adik tingkat ini sudah diberi kematian lebih dulu karena menghadapi Pak Arash di semester 6. Padahal waktu itu aku sempat mengira mereka akan baik-baik saja karena tak akan belajar dengan Pak Arash. Tapi ternyata kenyataan tak seindah itu. Maklum sih ya, Pak Arash kan mau resign.

Aku mendekat kearah dimana Pak Arash sedang duduk, di meja dosen yang letaknya agak ke sudut. Sementara seorang mahasiswa sedang asik memperbaiki letak proyektor.

"A..."

"Masih miring, geser dikit lagi." Aku hanya bisa mengelus dada tatkala ucapanku langsung dipotong. Baru aja mangap.

Pak Arash berucap seraya menunjuk menggunakan tangan kirinya, tempat cincin itu bersarang. Dia mau pamer apa gimana sih?

Aku jadi ingat kejadian kemarin saat tiga pasang manusia makan-makan di restoran yang ada di hotel Pak Arash. Plus Adinda juga, dia memakan makanan yang disiapkan khusus sesuai dengan usianya. Perhatian kan ya Pak Arash?

Memang bukan hotel bintang lima, tapi hotel ini tampak sangat mewah dengan desain yang elegan. Letaknya dekat dengan salah satu mall yang ada di sini.

Pak Arash bercerita kalau hotel dan cafe adalah usaha yang ia rintis dari nol. Cafe yang lebih dulu dirintis, yaitu saat ia baru saja mulai kuliah. Setelah lumayan berkembang barulah ia mulai membangun hotel itu bersama saudaranya.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang