"Permisi, Pak." Aku masuk ke ruangan Pak Arash, tapi lupa mengetuk pintu tadi. Alhasil aku jadi mengganggu kegiatan pentingnya dengan wanita bernama Fania yang tempo hari ia beri tahu. "Maaf, Pak. Saya lupa ngetuk." Harus cepat-cepat minta maaf daripada dimarahin nanti.
"Gak papa, masuk aja. Ini udah mau selesai kok." Sahut Pak Arash. Memang sepertinya pembahasan mereka sudah usai karena Fania sedang membereskan laptop dan beberapa berkas miliknya ke dalam tas.
"Gue pamit ya, Mas." Pak Arash mengangguk sebagai respon. Wanita itu sempat tersenyum sekilas padaku sebelum akhirnya keluar dari ruangan ini.
Sampai sekarang aku tak pernah bertanya pada Pak Arash tentang apa hubungannya dengan wanita itu. Termasuk bagaimana hubungannya dengan wanita berhijab bernama Manda yang sepertinya mantan pacarnya serta Nadin sosok perempuan yang tidak diakui Pak Arash.
"Kenapa bengong?" Aku menarik sudut bibir membentuk senyuman lalu menggeleng. UAS baru saja selesai tadi, makanya aku segera ke sini karena harus melakukan pekerjaanku. Aku harus menyelesaikan semuanya dalam tiga hari ini karena hari Senin aku mulai magang.
"Lembar jawaban yang mau diperiksa mana, Pak?" Tanyaku seraya melepas tas milikku dan menaruhnya di sofa.
"Pak?"
"Bapak Arash yang terhormat, saya mau menjalankan kewajiban dulu sebagai asisten. Profesional dong, Pak." Ia mengulum senyum geli lalu kembali menetralkan ekspresinya.
"Oke, sudah saya siapkan pekerjaan kamu. Sekalian kunci jawabannya juga. Tolong diperiksa ya, Arisha."
"Oke, Pak." Aku mengambil beberapa lembar jawaban mahasiswa dan memindahkannya ke meja tempat aku bekerja. Pak Arash juga sepertinya banyak pekerjaan lain yang harus ia kerjakan karena dari tadi tak berhenti memainkan jarinya di laptop.
Semenjak keputusan sepihak Ju'mat lalu, dan keputusan bersama esoknya, Pak Arash berubah total. Kecuali dalam ranah profesional ya, ia tetap berlaku layaknya seorang dosen meskipun kadang ia suka lupa posisinya. Tapi aku selalu berusaha mengingatkannya mengenai hal itu.
Hampir setiap saat ia selalu mengabariku, hanya untuk bertanya sudah makan atau belum, sudah belajar atau belum, bagaimana ujian tadi, apa kendala waktu ujian, dan lain sebagainya. Kadang ia datang menjemputku hanya untuk mengajakku makan siang.
Berhubung selama UAS aku juga libur kerja, makanya aku tak pernah lagi nongkrong di ruangan Pak Arash. Kami jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar. Tapi hanya untuk makan siang saja, karena ia selalu mewanti-wanti agar aku mempersiapkan ujian dengan baik. Punya pacar dosen emang begitu ya?
Pernah juga tiba-tiba saja abang ojol mengantarkan makanan ke kontrakanku atas pesanannya. Aku yang diperlakukan seperti itu hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tak jarang aku merasa tidak enak padanya. Walaupun aku tau dia laki-laki yang gentle dimana setiap pergi denganku selalu ia yang membayar. Makanya kadang aku merasa kalau aku ini terlalu memorotinya, walaupun secara tidak langsung. Tapi bagaimana dong? Pak Arash suka sekali menghamburkan uangnya.
Ada saat dimana berhadapan dengan Pak Arash merupakan tantangan terberat bagiku, yaitu saat ia mengawas ujian di kelasku. Matanya memang memperhatikan sekitar, tapi lebih sering mengarah padaku. Bahkan ia masih sempat-sempatnya berkeliling melihat jawaban mahasiswa, termasuk jawabanku. Aku jadi gagal fokus.
Beberapa hari ini aku sering tak sengaja melihat Galih berseliweran di daerah sekitar kontrakanku. Tapi untungnya tak pernah sekalipun aku bertemu langsung dengannya. Mudah-mudahan saja ia menyerah dan tidak kembali lagi ke sana.
"Arisha, akhirnya mahasiswa yang bimbingan sama saya berkurang satu." Aku menoleh pada Pak Arash yang bersandar nyaman di kursinya dengan menatap langit-langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...