"Gimana soal UTS dari saya? Bisa jawab?" Baru satu langkah aku masuk ke ruangan Pak Arash, tapi langsung ditodong oleh pertanyaan laknat itu. Pak Arash kapan sih mau belajar basa-basi sedikit? Menghirup udara di ruangannya saja belum sempat, tapi sudah dihadapkan pertanyaan yang hampir ditanyakan semua dosen saat masa ujian telah berakhir.
Minggu berat masa UTS sudah berhasil aku lalui. Selama seminggu itu aku dibebastugaskan oleh Pak Arash. Dia menyuruhku untuk fokus menghadapi UTS.
Aku sangat senang akan hal itu. Karena aku pikir, aku harus tetap bekerja keras padahal aku sedang menjalani UTS. Tapi ternyata Pak Arash tidak sejahat itu. Dia masih bisa mentolerir semuanya. Padahal kalau bekerja di cafe dulu aku tetap harus banting tulang meskipun sedang masa ujian.
Menurut pendapat Fiona dan Farhan, soal UTS dari Pak Arash adalah yang paling susah. Tapi entah kenapa menurutku tidak terlalu susah karena aku sudah lumayan memahami materi yang ia sampaikan.
Pak Arash bukan tipe dosen yang ingin diberikan jawaban sama persis dengan yang ia ajarkan. Bahkan ia tak mempermasalahkan jika bahasanya berbeda asalkan intinya sama. Pelajaran inilah yang aku dapat setelah beberapa kali ikut kuis. Juga dari pekerjaan sehari-hariku, memeriksa kuis mahasiswa yang bahasanya tentu berbeda dengan kunci jawaban milik Pak Arash.
Buku-buku yang disuruh Pak Arash supaya aku membacanya, membuat pikiranku lebih terbuka. Banyak ilmu yang aku dapat dari sana dan tentunya sangat berharga.
Menurutku, Pak Arash menyuruhku membaca karena ia ingin aku lebih produktif. Tidak hanya berpatokan pada ilmu yang aku dapat dari dosen, tapi aku juga harus berusaha menggali ilmu yang aku butuhkan sendiri.
Dibalik sifat otoriter, suka memerintah, pemarah, dan seenaknya itu, tapi dia termasuk peduli. Caranya saja yang salah. Nada bicaranya juga. Raut wajahnya apalagi. Ngajak ribut deh pokoknya.
"Kenapa bengong? Kamu gak bisa jawab soal dari saya? Yang bener aja Arisha?" Rentetan kalimat mulai keluar dari mulutnya, membentuk barisan layaknya semut yang sedang jalan pulang hendak kembali ke sarang. Belum juga dijawab tapi dianya sudah marah-marah saja.
"Padahal bisa Bapak periksa langsung, gak perlu nanya saya." Sewotku. Aku bergerak mengambil posisi di tempat yang aku sukai disini.
Sudah ada tumpukan lembar jawaban UTS disana. Aku hanya perlu memeriksanya. Kemudian Pak Arash hanya tinggal mengecek lagi dan memutuskan nilainya.
"Arisha, kamu gak pengen tau nilai kamu?" Aku mendongak menatap Pak Arash yang duduk dengan melipat kedua tangannya di meja. Pak Arash terlihat sehari lebih muda dengan kacamata bulat yang membingkai kedua matanya. Ck, sehari?
"Emangnya Bapak mau ngasih tau?" Tanyaku antusias. Dia menggeleng. "Ngapain nanya kalau gitu." Gumamku pelan, supaya dia tidak bisa mendengarnya.
Makin hari Pak Arash makin bawel. Padahal aku lebih suka ia irit bicara. Kupingku kadang mendadak panas karena mendengar kebawelannya. Lama-lama aku lakban juga tu mulut biar gak ngoceh terus.
Mengenai rencana magangku di RYK group, aku sudah mendaftar dengan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. Sekarang tinggal menunggu pengumuman langsung dari pihak perusahaan. Selanjutnya kalau lolos, maka aku akan diwawancara dulu. Padahal hanya magang loh tapi masuknya saja sudah susah.
Dari beberapa info yang aku dapat, pegawai magang yang berprestasi biasanya ditarik bekerja disana setelah mereka lulus. Asalkan kinerja mereka lumayan bagus. Makanya untuk magang disana itu susahnya minta ampun.
Kalau aku diterima magang disana, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Jika aku juga diberi kesempatan untuk bekerja disana setelah lulus, maka aku akan sangat setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...