Kangen

69.3K 7.2K 249
                                    

"Arisha?" Aku menghembuskan nafas panjang, kembali melirik Pak Arash yang dari tadi tak henti-hentinya memanggil namaku. Kali ini mataku tak santai lagi, tapi mulai diliputi kekesalan.

Panggilan barusan adalah yang kelima. Ia tak bosan terus-terusan memanggil namaku, seakan takut aku hilang. Padahal aku masih di sini loh, berada di meja yang sama dengannya.  Saat aku bertanya ada apa dengan menggunakan isyarat alisku, ia hanya menggeleng lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Gila kan ya?

"Apalagi, Mas?" Pak Arash tersenyum, lalu membuat gerakan dengan mengelus perutnya. Lapar? "Emangnya tadi gak sarapan? Baru jam sepuluh tumben banget udah laper." Heranku.

Kila terdengar cekikikan saat menonton film di hpnya yang ia dengarkan dengan bantuan handsfree. Kedua kakinya dilipat dan ia duduk santai diatas sofa. Kila terlalu larut dengan dunianya sendiri.

"Ada, sarapan roti aja. Bikin telur dadar dong. Saya sudah masak nasi tadi. Nasi putih sama telur dadar terus pake saos tomat enak banget kayaknya." Dia gak lagi ngidam kan ya? Seleranya memang bukan sesuatu yang mewah, tapi tetap saja ia mengganggu pekerjaanku. Kalau tidak dilaksanakan segera, maka ia tak akan bosan-bosannya memanggilku lagi dan lagi.

"Yakin itu aja?" Pak Arash mengangguk. Simple banget kalau itu mah.

"Tiga ya telurnya." Pintanya. Aku memberikan isyarat dengan jariku membentuk 'OK'.

Tinggal kocok telur, tambahkan bahan-bahan lain biar enak, kasih cabe sedikit, terus tambahkan garam sama micin lalu goreng. Segampang itu masa Pak Arash tak bisa sih? Selama hidupnya dia ngapain aja?

Tak butuh waktu lama, telur dadar itu pun matang. Aku menaruhnya diatas piring lalu mengambil sedikit nasi dan membawa keduanya ke ruang tamu. Kemudian mengambil segelas air dan saos tomat. Udah cocok jadi asisten rumah tangga belum?

"Makasih." Ujar Pak Arash dengan senyuman sumringah. Ia segera menyingkir laptopnya dan menarik nasi beserta telur dadar itu ke hadapannya. Tinggal eksekusi saja.

Kila tiba-tiba saja berlari. Tak lama dia kembali dengan memegang sendok di tangannya bersiap untuk bersaing dengan Pak Arash. Tanpa disuruh, ia langsung ikut menyantap makanan yang ada dihadapan Pak Arash.

"Kila, ini kan punya Papa." Pak Arash menjauhkan piringnya dengan wajah kesal.

"Papa pelit banget sih, Kila kan mau juga." Kila berusaha menarik piring itu tapi Pak Arash enggan memberikannya.

"Makan berdua kenapa sih? Lagian telurnya juga banyak kok." Timpalku. Berbagi itu indah. Daripada terus-terusan saling tarik-menarik, yang ada makannya jadi batal. Pak Arash ngalah, membiarkan Kila ikut menyantap makanannya.

Baru beberapa suapan masuk ke mulutnya, Kila kembali berlari kearah dapur. Saat kembali ia membawa saos sambal di tangannya. Tampaknya akan terjadi perang mulut lagi.

"Kila, pedes itu." Pak Arash menjauhkan tangan Kila yang baru saja menuangkan sedikit saos sambal.

"Saos tomat itu manis, Pa. Enakan saos sambal." Balas Kila.

"Kalau perut Papa sakit kamu tanggung jawab ya."

"Gak akan, percaya deh. Makanya Papa itu belajar makan pedes biar terbiasa perutnya." Pak Arash menatap Kila dengan tatapan tak percaya, heran karena Kila semakin berani menjawabnya.

"Kila, tambahin nasinya." Kila berdiri patuh lalu membawa piring itu. Kemudian ia datang sambil menyuapi mulutnya sendiri dalam posisi masih berdiri.

"Kila, makan itu duduk." Tegur Pak Arash. Kila hanya cengengesan.

Keduanya kembali fokus dengan makanan yang ada di depannya. Tak ada lagi perdebatan yang muncul. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang