Buntut Pak Arash?

76.3K 8.5K 168
                                    

"Arisha, catat ini!" Suruhnya saat aku baru saja nongol di ruangannya. Aku bahkan belum sempat menyapanya dan berbasa-basi sebentar.

"Oke, Pak." Aku ambil kertas yang ia sodorkan kemudian beranjak ke wilayah teritori yang menjadi tempat bersemayamku disini. Mengambil kertas kosong yang ada diatas meja, kemudian mulai menyalinnya. Entah apa tujuannya, yang penting dicatat dulu. Kan akunya disuruh, jadi harus patuh dong.

Dua kali kerja sih kalau begini. Membaca tulisan Pak Arash yang sangat artistik melebihi tulisan dokter, kemudian memindahkannya. Tulisan tanganku haruslah rapi dan gampang dibaca, itu instruksi yang selalu ia ingatkan.

"Arisha, ketik ini!" Baru juga mulai nulis, tapi sudah dapat perintah baru lagi. Aku berdiri untuk mengambilnya dan kembali duduk di peraduanku.

"Siap Bapak." Ingat, gak boleh protes dulu. Ntar aja kalau stok kesabaranku sudah habis. Bagaimanapun Pak Arash selalu benar alias enggan disalahkan. Jika Pak Arash salah, maka itu adalah ketidakmungkinan alias impossible.

"Arisha, bikin powerpoint tentang materi ini." Lagi-lagi aku harus berdiri dan mengambil flashdisk yang ia sodorkan.

"Dengan senang hati, Pak." Jika disuruh bikin powerpoint, biasanya hanya tinggal mengcopy paste materi saja. Walaupun perlu diringkas juga sehingga hanya menyisakan poin-poin penting.

"Arisha, cek kesalahan disini lalu perbaiki!" Aku mengambil tumpukan kertas yang ia serahkan.

"Sip bosku." Biasanya kalau begini, aku disuruh untuk meneliti kata-kata yang typo. Setelah ditandai baru diubah di file nya langsung. Padahal bisa sekalian saja ya kan?

Kadang pekerjaan yang Pak Arash berikan itu tidak terlalu efektif. Jika aku protes, palingan disuruh 'kerjakan saja, jangan banyak omong.' Jadilah aku hanya bisa berbincang dalam hati.

Mau ngumpat, takut dosa. Mau mencaci maki orang yang lebih tua, tapi nanti kualat. Gimana dong?

"Arisha, pindahin nilai-nilai kuis dan tugas yang sudah diperiksa ke excel."
Itu urusan gampang. Yang diperlukan hanya ketelitian. Masih ada yang mau ditambah gak? Mumpung akunya belum protes.

"Aye aye captain." Kalau jawabanku sudah aneh seperti ini, itu artinya aku sudah agak muak. Mendingan dikasih sekalian aja, biar akunya gak pindah posisi terus. Baru duduk, lalu disuruh berdiri. Pantatku bahkan belum panas.

Kenapa harus jawab semua perintahnya? Karena kalau kita tak menjawab, akan lebih salah lagi. Aku akan dikira bekerja dengan terpaksa alias gak ikhlas serta dongkol dan menggerutu di dalam hati. Walaupun sebenarnya kegiatan itu selalu aku lakukan sih.

"Arisha?" Tuhkan. Masih ada lagi. Firasatku tak pernah salah jika berkaitan dengan dosenku yang satu ini. "Jatah bacaan kamu sudah habis kan? Nanti baca buku ini." Pak Arash menaruh sebuah buku yang tebalnya kira-kira 300 sampai 400 halaman diatas meja tempat aku bekerja.

Membaca lagi? Pak Arash sepertinya tak bosan-bosan menyuruhku untuk membaca ya? Aku saja bosan karena disuruh membaca terus. Mending yang lain deh.

"Gak ada batasan waktu kan, Pak?" Inilah yang selalu aku tanyakan saat disuruh membaca buku. Jika buku yang dibaca adalah novel, maka dapat dipastikan dalam beberapa jam bisa aku selesaikan. Berbeda dengan buku yang memuat materi dengan membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi. Percuma dibaca kalau tidak paham kan? Makanya membaca buku seperti ini perlu mood yang cukup.

Pak Arash tak menjawab, malah melangkah kembali ke wilayahnya. Gak menjawab tandanya iya kan? Jadi aku punya banyak waktu untuk menyelesaikan buku itu. Alhamdulillah.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang