Bukannya menjelaskan apa maksud dari ucapannya, Pak Arash malah mengalihkannya. Ia mulai menyuruhku melakukan ini dan itu. Saking banyaknya yang aku kerjakan, aku bahkan tak memiliki waktu untuk makan siang hari itu.
Jam satu aku masuk ke kelas dan kuliah seperti biasa. Kemudian sesudahnya aku kembali disuruh mengerjakan tugas yang ia berikan sampai sore.
Sekarang sudah lebih dari seminggu Pak Arash menyiksaku, tapi tampaknya dia belum puas sedikitpun. Setiap ada waktu senggang, aku diminta untuk ke ruangannya. Ah, bukan diminta juga sih, lebih tepatnya diperintah.
Aku tak punya waktu untuk nongkrong. Bahkan sekedar untuk makan siang pun tak bisa. Yang paling parah adalah kalau biasanya aku pulang dari kampus kurang dari jam lima sore, sekarang selalu pulang saat azan maghrib berkumandang.
Mau protes, tapi sama siapa? Mau berkeluh kesah, tapi aku hanya sendiri. Memang rasanya melelahkan saat bekerja di kafe. Tapi jadi asisten Pak Arash juga tak kalah lelah.
Kalau di kafe, hanya tenagaku yang terkuras. Sementara saat bekerja dengan Pak Arash, fisik dan otakku sama-sama terkuras. Batinku adalah yang paling tertekan, yang senantiasa menggerutu, memaki, bahkan merutuki setiap kelakuan dosenku ini.
Belum lagi aku harus mengerjakan rangkaian tugas yang diberikan dosen lain. Ujung-ujungnya aku akan selalu begadang, seperti saat sebelum aku jadi asisten Pak Arash.
Aku merebahkan badan di kasur. Belum lama aku sampai di kontrakan. Setelah mandi dan shalat maghrib, barulah aku memiliki kesempatan untuk mengistirahatkan fisikku sejenak.
Badanku rasanya kurang sehat karena terlalu lelah dan kurang asupan. Ada yang tidak beres dengan tubuh yang sok kuat ini. Rasanya aku akan demam.
Aku menatap langit-langit rumah, menerawang. Biasanya kalau aku sedang letih dengan aktivitasku, ada Ibu yang selalu menyemangatiku. Ibu selalu peka terhadap kondisi fisik maupun batinku.
Tidur di paha Ibu saat malam hari adalah hal yang kerap kali aku lakukan dulu. Ibu akan mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang, sambil memberikan wejangan yang perlahan membuat tenagaku pulih kembali.
Mataku dipenuhi gumpalan awan yang bersifat untuk keluar. Setiap teringat Ibu, hatiku rasanya sangat pilu. Aku rindu Ibu, sangat.
Terlalu banyak momen yang aku lalui bersama Ibu. Terlalu banyak kenangan indah yang memenuhi benakku. Kenangan pahit? Aku tak ingin mengingat kenangan pahit itu. Buatku, asalkan ada Ibu, aku selalu bahagia. Terlepas dari bagaimana susahnya kehidupan kulalui, asalkan ada Ibu, aku akan baik-baik saja.
Aku berhasil bertahan dengan cukup baik setelah kepergian Ibu. Pernah beberapa kali mencoba untuk bunuh diri karena merasa tak sanggup hidup sendiri. Tapi setiap kali ingin melakukannya, aku selalu terbayang wajah Ibu. Ibu pasti tak akan rela kalau aku mati dengan cara seperti itu. Ibu pasti tak ikhlas melihatku mati karena ingin menyusul Ibu. Ibu pasti akan sedih melihat aku pergi dengan cara seperti itu. Tujuanku dilahirkan adalah menjadi kebanggaan Ibu, bukannya menjadi sumber kepedihan hatinya.
Setetes air mata meluncur bebas dari mataku, dilanjutkan oleh tetes-tetes berikutnya. Lidahku terasa kelu kala mengingat momen Ibu dimakamkan. Aku tak bisa melihat Ibu lagi, hanya bisa merasakan kehadirannya. Aku tak bisa menikmati kehangatan Ibu lagi, hanya bisa menikmati kesendirianku.
"Ibu, hiks." Lirihku. "Adek kangen Ibu." Air mataku bercucuran deras. Dadaku terasa sangat sakit. Aku bahkan memukul-mukulnya untuk menghilangkan nyerinya. Tapi sama sekali tak berhasil. Rasanya sakitnya malah makin menjadi-jadi.
"Ibu, Adek capek Bu. Capek berjuang sendirian. Capek ngerasain sakit sendiri. Adek mau sama Ibu." Aku memeluk guling di sampingku, membayangkan kalau sekarang tubuh Ibu-lah yang sedang aku rengkuh sebagai tempat untuk mengadu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...