Sadis!

70.6K 9.1K 377
                                    

Mulutku menganga menatap dua orang yang berbeda generasi tengah berpelukan, melepas rindu seakan sudah lama tak bersua. Senyum lebar terpatri di wajah keduanya, sebagai tanda bahwa mereka sedang bahagia.

Di dalam ruangan ini ada dua mood yang berbeda. Pak Arash dan gadis itu dengan mood bagus antara senang, bahagia, gembira dan berbunga-bunga. Sedangkan aku dengan mood yang campur aduk, antara kaget, bingung, heran, dan takjub.

Jika penggemar Pak Arash tau perihal berita ini, mungkin mereka akan heboh. Informasi ini akan membuat semua orang gempar. Aku jadi tak sabar ingin memberitahukannya pada Fiona.

Andaikan Buk Ana tau bagaimana ya? Atau apa dia memang sudah tau? Eh, kalau Buk Ana tau, pasti info ini sudah lebih dulu tersebar melalui kekuatan mulutnya.

Situasi seperti ini termasuk sebagai salah satu pemandangan langka yang patut diabadikan. Dosen yang katanya datar dan kaku sudah mulai memperlihatkan ekspresinya. Para penggemar fanatiknya pasti akan berteriak histeris melihat ini. Sayangnya mereka tak seberuntung aku, yang lebih dulu menyaksikan pemandangan indah ini. Mereka berdua sama-sama indah, yang bisa membuat senyum itu ikut menular padaku.

"Tumben banget mau kesini?" Tanya Pak Arash mengelus rambut sang anak penuh kasih sayang. Aku gak lagi mimpi kan ya? Dia benar-benar Pak Arash kan? Ekspresi wajah dan nada bicaranya sungguh berubah. Beginikah dia jika dihadapkan dengan orang-orang terdekatnya?

"Abisnya Kila mau makan siang bareng sama Papa. Untungnya hari ini pulang lebih cepat karena hari Sabtu. Papa juga tumben banget Sabtu gini kerja." Sahutnya bersemangat.

Senyum dibibir Pak Arash tak pudar sedikitpun. Sesaat, membuatku terkesima. Tapi pikiranku langsung menyadarkan kalau tak sepantasnya aku terpana melihat suami orang, sekaligus ayah dari gadis yang berdiri di depannya. Jangan sampai bibit pelakor bersemayam di kepalaku. Ini tak baik.

"Eh, Papa lagi sibuk ya? Kila ganggu?" Ia melirik kearahku sebentar. "Apa Kila keluar dulu? Kakaknya lagi bahas hal yang penting sama Papa, ya?" Ucapnya tak enak. Dia kelihatan baik, tidak seperti bapaknya. Sepertinya sifat baiknya menurun dari ibunya. Bagus deh. Setidaknya aku tak perlu berhadapan dengan dua orang yang mengesalkan. Cukup satu saja, Pak Arash.

"Papa gak sibuk kok. Dia asisten sekaligus mahasiswa, Papa." Inilah saat dimana aku berada di posisiku yang seharusnya.

Waktu itu seorang wanita datang kesini untuk berbincang dengan Pak Arash. Kemudian datang lagi seorang wanita yang mengaku sebagai pacarnya, tapi Pak Arash seakan tak mengakuinya. Sekarang datang gadis cantik yang mengaku sebagai anaknya? Hidup Pak Arash benar-benar aneh ya. Entah mana yang benar, tapi sepertinya julukan playboy itu benar-benar pas aku sematkan untuknya.

"Asisten? Kayak asisten rumah tangga gitu ya, Pa? Yang suka bantu-bantu Oma."

'Ya dek, iya begitu. Tapi Kakak diperlakukan lebih parah.' Lirih batinku.

"Iya, kayak asisten rumah tangga. Tuh hp Papa disana, pesen aja kalau mau pesen apapun. Kita makan siang bertiga." Pak Arash menunjuk hpnya yang berada diatas meja.

"Bertiga? Seru dong!" Sahut gadis itu riang.

Dugaanku meleset kali ini. Aku kira dia gak akan setuju. Nanti kalau ibunya ngamuk gimana? Dia gak takut apa ya? Bagaimanapun, aku ini orang asing dan aku adalah perempuan. Termasuk salah satu orang yang berpotensi untuk jadi pengganggu, walaupun ayahnya belum tentu mau sama aku sih.

"Pak, saya makan diluar aja ya." Ucapku segan. Sepertinya momen seperti ini tak seharusnya aku ganggu. Lagian mereka seperti jarang bertemu. Apa Pak Arash sudah bercerai dari istrinya? Aku pun tak tau, hanya bisa menerka-nerka.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang