"Mbak, jangan lupa dimakan ya Mbak. Masnya pesan tadi supaya saya bilang itu ke Mbaknya." Aku menganggukkan kepalaku sebagai respon.
Hari ini adalah hari ketiga aku menerima makanan yang diantarkan oleh Mas ojol. Pertama kali mendapatkannya, tentu saja aku menolak karena aku tak memesan apapun. Saat nama Mas Arash disebut, barulah aku sadar kalau ia yang memesankan untukku.
Aku menolak, tapi Mas ojol terus memaksaku untuk menerimanya. Kalau tidak, maka mereka yang akan terkena imbasnya. Mas Arash keterlaluan sekali hingga mengancam orang hanya supaya aku menerima makanan ini. Begitulah caranya memaksaku untuk menerima, karena aku pasti tak akan tega jika orang lain terkena masalah gara-gara aku.
Mulai dari obat, makanan untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Tak lupa ada cemilan sore juga. Semuanya diantarkan oleh Mas-mas ojol yang berbeda tiap harinya. Bahkan aku sudah hafal waktu dimana pintu depan kontrakanku diketuk.
Baru semalam aku memberanikan diri dan mencoba mencari lewat internet. Aku pun berhasil mendapatkan informasi terkait dengan nama yang disebut Ibu. Entah benar orangnya atau tidak, tapi melihat fotonya membuatku yakin kalau dialah orangnya.
Hatiku tak kalah hancur saat tau pemilik nama itu sudah wafat beberapa tahun lalu. Bahkan ia lebih dulu dipanggil Tuhan sebelum Ibu.
Saat melihat foto yang menampilkan dirinya, aku sadar kalau wajahku lebih mirip dengannya daripada Ibu. Aku menangis, tentu saja. Aku berharap ayahku masih hidup dan aku akan mendatanginya sekaligus meminta penjelasan. Tapi itu semua tak terwujud. Kenyataannya ia sudah bahagia bersama Ibu di atas sana.
Galandra Aksara adalah salah satu pengusaha lokal yang terkenal di kota lain karena membangun usaha yang memajukan para tunawisma dan pemulung di suatu perkampungan kumuh. Sekarang kegiatan itu dilanjutkan oleh istrinya.
Ia memiliki beberapa restoran terkenal khas makanan Indonesia. Foto yang berhasil aku dapatkan adalah saat ia mengisi sebuah seminar bisnis. Di satu sisi aku senang melihat betapa hebatnya dia. Tapi di sisi lain aku menyayangkan kenapa aku tak bisa melihatnya tatkala ia masih ada di dunia. Aku terlambat, sangat-sangat terlambat.
Satu lagi ketukan pintu terdengar. Biasanya kalau jam segini, aku mendapatkan cemilan sore. Padahal belum lama aku memakan santap siangku karena nafsu makanku sedang menurun akhir-akhir ini.
"Jangan lupa dimakan ya, Mbak." Hanya itu yang ia ucapkan dengan kepala yang tertutup helm beserta masker sembari menyodorkan kresek putih berukuran agak besar. Entah apa isinya kali ini.
"Makasih ya Mas." Jawabku singkat. Setelah itu aku kembali menutup pintu.
Saat menaruh makanan di atas tikar, barulah aku sadar pada keanehan tadi. Dia tidak seperti ojol kebanyakan karena aku tak melihat jaket hijau itu. Apalagi ia tampak enggan membuka helm dan masker itu sehingga hanya memperlihatkan matanya.
Cincin, aku melihat cincin yang ia kenakan saat menyodorkan makanan padaku. Cincin itu adalah cincin Mas Arash, aku yakin itu. Bagaimana bisa aku lupa pada tatapan mata yang tajam itu? Dia memang berhasil menipuku dengan suara yang berhasil ia samarkan. Tapi dia bukanlah penipu yang handal.
Aku tersenyum tipis. Mas Arash sangat menghormati keinginanku untuk sendiri. Ia tak pernah menggangguku dan membiarkan aku memikirkan semuanya. Ia juga mengatakan kalau aku bisa menghubunginya kapanpun dan ia akan datang jika aku minta. Apakah hari ini adalah saatnya?
Mas, ada helm dua?
Pesan yang aku kirimkan langsung ia baca. Dalam waktu lima menit sebuah motor kembali terdengar di depan pintu kontrakanku.
Aku membuka pintu dengan sedikit gugup dan mendapati ia baru saja melepas helmnya serta masker yang ia kenakan. Sudah kuduga itu dia. Dari mana dia mendapatkan motor dan helm ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...