"Periksa lembaran kuis lokal MB-A sampai MB-C. Ini kunci jawabannya. Kalau sudah selesai, lanjut periksa lembaran kuis lokal EK-A sampai EK-D. Ini kunci jawabannya." Aku hanya bisa mengangguk saat Pak Arash mulai menunjuk-nunjuk apa saja yang harus aku kerjakan.
"Setelah itu..." Ucapannya langsung terjeda saat melihat ekspresi memelas dariku. 'Satu satu dong, Bapak. Jangan sekalian gitu.' Semoga dia bisa membaca suara batinku.
"Kamu bawa laptop?" Aku mengangguk pelan. Ia mengambil sebuah buku di tasnya dan menaruhnya diatas lembaran kuis para mahasiswa. "Tolong ketik poin-poin penting dari buku ini."
Ah, mengundurkan diri boleh gak sih? Aku rasanya pengen menyerah karena dihadapkan dengan buku yang tebalnya minta ampun.
Aku memang suka membaca, tapi tak suka membaca buku ilmu pengetahuan. Itulah kenapa ilmuku hanya sebatas apa yang diajarkan dosen, sedangkan selebihnya aku hanya punya ilmu untuk menjalani kehidupan.
"Kalau sudah..." Ia melirik kearah rak buku yang ada di samping sofa. Langkah kakinya mendekat untuk mengambil tiga buku yang tak kalah tebal dibandingkan buku lain. Disuruh catat poin-poin penting lagi ya?
"Baca buku ini. Saya akan tanya-tanya tentang apa yang kamu pahami." Wah. Ini lebih parah daripada kerja di kafe. Mending disuruh kerja secara fisik deh, daripada otak. Bikin mumet tau gak.
"A..."
"Pak, maaf banget..." Potongku.
"Apa? Kamu mau protes?" Nyaliku langsung ciut saat ditatap tajam seperti itu.
"Hehe gak, Pak." Padahal tujuan awalnya memang untuk protes tadi. "Yang tiga buku itu cukup saya baca aja kan ya, Pak? Gak pakai tenggang waktu berarti kan, Pak?"
"Pokoknya selesaikan secepatnya. Silahkan kerjakan!" Perintahnya. Aku menghela nafas kasar dan beranjak dari meja kerjanya dengan membawa pekerjaanku.
Aku menumpuk semua pekerjaanku diatas meja di depan sofa. Kemudian duduk lesehan diatas karpet. Oke, aku pasti bisa menyelesaikannya. Harus bisa.
Memeriksa kuis itu susah-susah gampang. Apalagi bahasanya berbeda dengan kunci jawaban yang diberikan Pak Arash. Tapi asalkan konsepnya sama, jawaban itu bisa dibenarkan.
Salah satu hal yang membuatku sedikit kewalahan karena harus membaca tulisan mahasiswa yang beraneka ragam, baik dari segi ukuran maupun nilai estetikanya. Estetika ya? Lucu sekali.
Ada yang tulisannya berukuran sangat kecil, dan ada juga yang terlalu besar. Ada yang tegak, ada pula yang miring. Ada yang terlihat rapi dan ada juga yang memiliki bentuk abstrak.
Ternyata begini ya nasib seorang dosen. Untuk membaca tulisan mahasiswa aja butuh keterampilan yang memadai.
"Kamu kesini lagi?" Aku yang sedang memeriksa lembaran jawaban kuis mahasiswa sontak menegakkan kepala saat mendengar ucapan dengan nada sinis yang keluar dari bibir merona Buk Ana.
Aku bahkan tak mendengar suara pintu terbuka. Tapi tiba-tiba saja Buk Ana sudah masuk. Haruskah aku tanyakan hal yang sama? 'Buk Ana datang lagi?'
Pantas saja Pak Arash minta perlindungan. Kalau dihadapkan dengan orang seperti Buk Ana, Pak Arash harus menyiapkan berbagai alasan yang masuk akal. Kalau mau nolak langsung gak enak, makanya alasan selalu dibutuhkan.
"Hehe iya Buk." Sahutku sopan.
Mataku yang terlalu sensitif ini sontak saja terpaku pada bibir merah menyala Buk Ana. Kenapa bibir Buk Ana keliatan merah banget ya? Biasanya kalau di kelas gak terlalu ngejreng gini warnanya. Apa aku yang nggak ngeh ya sebelumnya? Gak mungkin aku salah lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arash [END]
ChickLitArashya Derya Rayyanka. Nama itu tercantum pada kartu rencana studi milikku. Ia adalah dosen yang dikagumi karena parasnya yang rupawan, tapi tidak dengan sifatnya. Namanya berasal dari kata 'Arash', seorang pahlawan dalam dongeng Persia. Tapi men...