"Zelin, udah mau berangkat? Kok, pagi banget? Sini sarapan dulu."
Panggilan Nina-- ibu dari Zelina-- berhasil menghentikan langkah anaknya menuju pintu rumah. Zelina pun berbalik dan tersenyum bersemangat sambil menghampiri Nina di depan meja makan. "Zelin kira Mama belum masak.... Wah, ada nasi goreng!"
Masakan Nina memang jarang tersedia sebelum jam 9 pagi. Zelina sebenarnya bisa memasak, tetapi ia keterlaluan malas. Biasanya, Zelina akan sarapan dengan snack bar dari laci cemilannya dan teh yang disediakan oleh kantor di pantry.
"Iya, tadi pagi ada nasi sisa. Mama masak aja. Kamu semalem gak makan?"
"Gak, Ma. Zelina kecapean tadi malem, jadi langsung tidur, he he." Zelina nyengir, seperti anak yang ketahuan berbuat nakal. "Ma, suapin, ya?"
"Dasar manja," cibir Nina. Ia mulai menyuapi anak tunggalnya itu dengan nasi goreng hangat dari piringnya. "Jangan sering lupa makan. Kasian badan kamu. Jangan kecapean juga. Mama gak mau kamu sakit," lanjut Nina mengomeli.
Zelina hanya meringis dan mengangguk, "Iya, Ma. Maafin Zelin udah buat Mama khawatir," kata Zelina sedikit merasa bersalah, "tapi, kan, kalau Zelin sakit, nanti Zelin bisa manja-manja sama Mama. "
"Manja-manja.. Inget umur! Harusnya kamu udah manjain anak kamu sekarang. Bukan masih minta dimanjain Mama."
"Biarin! Zelin maunya sama Mama aja. Seneng-seneng terus berdua sama Mama," balasnya keras kepala sementara Nina hanya mendengus.
"Sepupumu, si Raya udah lahiran kemarin malem. Anaknya perempuan, lucu banget. Namanya Layla. Kapan kita mau jenguk?"
Zelina mencoba mengingat jawalnya hari ini, tetapi akhirnya hanya mampu menaikkan bahu pelan karena lupa. "Nanti sore pas Zelin pulang kerja kita jenguk Raya, ya? Nanti Zelin usahain pulang cepet. Mama tunggu di mall deket tempat kerjanya Zelin biar kita pilih hadiah buat anaknya Raya bareng-bareng. Nanti pokoknya Zelin chat Mama lagi. "
"Mama mau shopping sedikit, boleh? Temen-temen arisan Mama punya rompi jeans sama kaca mata warna biru tua gitu. Mama jadi kepengen. Sekalian beliin, ya?" tanya Nina dengan mata berbinar. Zelina pun tertawa dan mengangguk.
"Anaknya Mama Nina sekarang udah banyak duit. Mama tinggal bilang mau apa, nanti Zelin beliin, deh!" ujar Zelina membanggakan diri dengan hasil dari pekerjaannya itu.
Nina bukanlah seorang pengangguran. Dia memiliki usaha katering makanan yang selama ini membiayai hidupnya dan Zelina. Semenjak ditinggal cerai oleh Adi--papa dari Zelina-- sekitar 13 tahun lalu, Nina-lah yang menjadi tulang punggung keluarga--setidaknya sampai Zelina bekerja. Hubungan Nina dengan mantan suaminya terputus begitu saja. Tidak ada nafkah sama sekali karena Adi fokus menafkahi keluarga barunya dan pindah entah kemana.
Zelina yang realistis sejak dulu tidak ambil pusing dengan perceraian orang tuanya. Kalau mereka tidak bahagia bersama, tidak ada gunanya juga mempertahankan pernikahan. Daripada menderita dan sakit mental akhirnya, lebih baik berpisah. Sayang, Adi lupa akan kewajibannya sebagai papa dari Zelina.
Awalnya, Zelina kira Adi masih menafkahinya meskipun sudah bercerai dari Nina. Namun, ketika mereka tiba-tiba diusir dari rumah lama oleh pihak bank, Zelina sadar betul bahwa ia telah kehilangan sosok ayah. Masa-masa itu merupakan titik terendah dalam hidup Zelina setelah mengetahui fakta bahwa Adi sudah tidak pernah sama sekali menafkahi Zelina semenjak perceraian itu.
Papa sialan!
Papa brengsek!
Zelina tambah membenci papanya sendiri. Adi bukan hanya lupa tanggung jawabnya sebagai ayah, tetapi ia juga telah meninggalkan luka yang cukup dalam di hati Zelina dan Nina. Luka yang Zelina lebih baik tidak sebutkan karena itu aib keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zelian
ChickLit[ Daftar Pendek dan Pemenang Penghargaan Watty Awards 2021 Kategori Chicklit] "Oke, kalau Anda tidak ingin saya obati sekarang tidak apa-apa. Tapi, izinkan saya menjadi teman Anda. Boleh?" **** Zelina Oliv Elmira adalah seorang akuntan berusia 28 ta...