49. O p i n i A u d i t o r

29.6K 3.3K 33
                                    

Hai.

Selamat menikmati :)

****

"Arin.."

Tak perlu kata-kata, melihat betapa hancurnya Zelina sekarang, Arin langsung menarik wanita itu ke dalam dekapannya dengan erat.

"G-gue takut, Arin...," racau Zelina disela tangisnya. "Gue takut."

"Lo tenangin diri dulu.... Puasin nangisnya. Baru cerita, oke?" Arin mengusap pelan punggung Zelina yang sedang rapuh. Wanita itu tidak menjawab, sibuk dengan isakannya sendiri saat Arin menuntunnya ke ruang tengah kediamannya. Beberapa menit berlalu, Arin terus memeluk Zelina, membiarkannya menumpahkan emosi, memberitahu Zelina bahwa ia ada di sini untuknya.

Selama kurang lebih 7 tahun mengenal Zelina, Arin baru pertama kali melihat wanita tangguh itu hancur dan ketakutan seperti ini. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, isakannya lirih, tapi air matanya mengalir deras seolah tak kunjung memiliki akhir.

"Dia.... Gue...," cicit Zelina, suaranya tertahan oleh isakan yang menyakitkan. "G-gue bukan pengganggu, kan?" Wanita itu bertanya lirih, membuat Arin terdiam. Siapa yang tega menyakiti adiknya?

Tak mendapat jawaban apa pun, Zelina menjadi panik. Ia berubah histeris. "Arina, jawab gue! Apa gue cuma pengganggu?!" Matanya menatap Arin putus asa. "Jawab, Arin!"

"Lo bukan pengganggu! Puas?!"

Zelina menutup mata, menghembuskan napas patah-patah di sela isakannya. Wanita itu meringkuk, memeluk diri sendiri. "Gue gak mau jadi pengganggu...," bisiknya berulang-ulang, membuat Arin sakit hati melihatnya.

"Lo bukan pengganggu, Zelina." Arin menekankan, tapi seolah tuli, Zelina masih terus mengulangi kata-kata itu. "Gue gak mau jadi penganggu.... Gue gak mau jadi pengganggu...."

Arin pun meletakkan kedua tangannya di pundak Zelina, mengguncangnya pelan agar wanita itu bisa fokus. "Dengerin gue! Lo bukan penganggu, Zelin! Berhenti ngucapin kata-kata itu!"

"Tapi, gue cuma pengganggu, Arin!" pekik Zelina histeris.

"Gue--gue gak bisa.... Gue harusnya bisa tahan--"

"Siapa yang bilang gitu sama lo?! Bilang sama gue!" Arin menangkup kedua pipi Zelina, membentaknya agar berhenti. Wanita beranak satu itu bahkan tak kuasa menahan air matanya sendiri melihat Zelina sekacau ini.

"Kasih tau gue, siapa yang buat lo sakit, Zel?" Arin bertanya lirih, membuat pemilik iris mahoni itu menutup mulut. "Dengerin gue. Lo harus tenang. Lo bukan pengganggu di hidup siapa-siapa. Lo orang yang baik, Zel. Siapa pun yang tega bilang hal itu ke lo, artinya dia yang jahat. Dia yang pengganggu, bukan lo!"

Tangisan Zelina melemah. "T-tapi, gue biang masalahnya, Rin...," ujarnya lirih.

"Berhenti nyiksa diri lo sendiri dengan kata-kata jahat kayak gitu!" Arin mengusap air mata di pipi Zelina. "Gak ada yang anggap lo biang masalah."

Zelina menggeleng tidak percaya. "Lo gak ngerti...."

"Kalo gitu, buat gue ngerti! Gue siap dengerin semua masalah lo. Jangan simpen semuanya sendiri!"

Terlihat keraguan di mata mahoni yang sembab itu. Tangisannya memang sudah mereda. Namun, Zelina tidak bisa jamin jika ia tidak akan menangis lagi saat bercerita.

"M-mana Vano sama Rafa?"

"Mereka lagi keluar. Jangan alihin pembicaraan, Zelina. Cerita. Gue gak suka liat lo nyalahin diri sendiri kayak gini." Arin menghapus air matanya sendiri. Ia menarik napas dalam dan kembali menatap adiknya dengan teduh, menunggu penjelasan.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang