25. P r i v e

28.9K 3.7K 22
                                    

Selamat hari minggu 👉🏽👈🏽

Gimana? Puasa lancar?

Selamat menikmati :)

*****

"Damian? Mama perhatikan, belakangan ini kamu sibuk sekali dengan ponsel. Ada apa?"

Pergerakan jari Damian di layar ponselnya terhenti. "Bukan apa-apa, Ma. Hanya teman."

"Teman tapi mesra, maksudnya, Bang? Erika sering denger Bang Damian teleponan, loh, Ma! Kasmaran dia!" Erika mengompori, membuat telinga Damian memanas.

"Paling juga lagi punya gebetan, Ma. Angga udah hatam sama sifat Bang Dami, apalagi sesama lelaki," tambah kembaran Erika--Erlangga, yang datang dengan sepiring cah kangkung udang dari dapur. Hari ini adalah giliran Erlangga untuk membantu Tita di dapur. Besok giliran Erika, lalu besoknya lagi Damian, dan besoknya lagi Dani. Begitu urutan seterusnya, kecuali salah satu memiliki kesibukan.

"Beneran? Kapan mau dikenalin ke Mama?"

Damian menelan ludah dan mengusap bagian belakang lehernya ketika melihat mata Tita yang berbinar-binar. "B-bukan gitu, Ma. Ini-- Ini hanya teman Damian saja. Dia--Uhmm.... Dia baru pulang dari Inggris dan jatuh sakit. Jadi, Damian sekadar bantu temani lewat chat. Semacam moral support."

"Moral support.... Kaku banget lo jadi cowok!" Erlangga menepuk jidatnya. " Gaul dikit, dong! Udah tua masih aja jomblo. Malu sama burung!"

"Erlangga!"

"Maa--"

"Yeu.... Daripada lo, Bang! Ngejar cewek tapi gak dapet-dapet. Seenggaknya Bang Dami masih ada yang mau." Erika tersenyum jahat pada kembarannya sendiri, memulai perang kata-kata di antara mereka sementara Damian mengirim balasan pada Zelina sebelum ia menyimpan ponselnya ke saku.

"Ma, Papa mana?" tanya Damian pada Tita yang sedang memijat batang hidungnya karena pertengkaran si kembar.

"Papa kamu masih ada operasi. Gak bisa gabung malam ini. Yuk, makan."

*****

"Hai. Bagaimana keadaan kamu?"

Damian duduk di kursi kafe, tepat di hadapan Zelina. Melihat gadis itu secara langsung membuat Damian sadar betapa rindunya ia pada Zelina. Setelah sebulan lebih mereka tidak bisa bertemu, kemarin malam Zelina meminta Damian untuk datang ke sebuah kafe selepas kerja.

"Udah baikan. Makasih udah nanya. Ehm.... Kalau lo gimana?" Zelina tersenyum canggung, entah kenapa ia jadi gugup sendiri.

"Saya baik, hanya lelah saja. Tadi banyak korban kecelakaan yang harus operasi darurat."

"Ya ampun.... Terus mereka gimana?"

"Syukurlah, mereka semua selamat. Saya tidak akan sanggup ke sini jika terjadi sesuatu dengan mereka." Damian menunduk, membayangkan jika pasiennya harus meninggal di meja operasi. Wajahnya jadi sedikit murung.

Zelina ingat bagaimana hancurnya Damian waktu itu, saat ia tidak bisa menyelamatkan seorang kepala keluarga. Hati Zelina serasa diremas, sakit jika membayangkan Damian terus menyalahkan dirinya sendiri atas takdir Tuhan.

"Lo jangan terlalu keras sama diri lo sendiri, Damian. Tugas lo hanya membantu mereka, masalah hidup dan matinya ada di tangan Tuhan. Biar mereka sehat pun, Tuhan bisa ambil nyawa mereka kapan aja."

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang