38. V i t a m i n

26.7K 3.3K 78
                                    

Terima kasih karena sudah bersedia mendoakan ibu saya, yang notabenenya orang asing bagi kalian. I really appreciate it 😭

Jangan lupa tekan bintang dan tinggalkan pesan baik 🙏

Semakin banyak dukungannya, semakin cepat kalian bebas dari cerita ini hahahaha.

Selamat menikmati :)


*****

"Pa, gimana kalau tiba-tiba Vano rewel di kereta? Apa yang lain gak akan keganggu? Gimana kalau mereka gak suka ada bayi di perjalanan?"

"Papa pelototi. Mereka tidak akan berani protes."

"Ih. Papa...."

Arin merengek, sedangkan Zelina tertawa renyah. Reputasi Ali memang hebat! Bisa-bisanya ia disegani satu rumah sakit. Padahal, kan, Ali baik sekali.

Ngomong-ngomong, mereka sedang berkumpul di dekat peron sekarang, menunggu giliran untuk pendataan dan masuk ke gerbong kereta eksekutif yang telah disediakan. Bersama petinggi rumah sakit lainnya, Ali dan keluarga mendapat jatah kursi di gerbong pertama.

Rumah sakit memang menyediakan 5 kuota kursi bagi semuanya. Satu untuk pegawai dan sisanya bisa dipakai oleh anggota keluarga mereka. Tahun ini, tentu saja Ali sangat senang karena bisa memenuhi kuota tersebut. Ya, ditambah Elvano yang tidak dihitung karena masih bayi dan hanya digendong.

Sedari tadi, Zelina sebenarnya gugup dan was-was sambil memainkan liontin kalungnya. Ia menatap sekitar, berjalan sedikit, dan mencari keberadaan seseorang yang menghantui pikirannya belakangan ini. Lelaki itu sudah bilang bahwa ia akan ikut rekreasi kloter satu, sama seperti Ali.

Aduh.

Semoga saja Zelina tidak satu gerbong, deh.

Atau kalau perlu, jangan sampai ketemu sama sekali!

Sambil tadi berkemas, Zelina sudah memutuskan bahwa ia harus coba memberi jarak antara dirinya dengan Damian. Pikiran Zelina sudah terlalu kacau. Pekerjaannya saja sampai terdampak gara-gara Si Seksi Bermata Terang itu.

Jika begini terus, hidupnya bisa ikutan kacau.

"Kak Zel!"

Seolah semesta sedang mempermainkannya, adik dari Si Seksi Bermata Terang malah muncul entah dari mana.

"Kak Zel ikut rekreasi juga?" Erika bertanya dengan antusias.

Dalam hati, Zelina meringis.

"Iya. Lo gerbong mana?"

Please, jangan sampe mereka di--

"Gerbong satu, dong. Kak Zel juga, kan? Dokter Ali temen baik Papa soalnya."

"Oh.. Iya, sama. Ha ha." Zelina tertawa ironis. Erika baru saja mengkonfirmasi kekhawatiranya. Sialan!

"Lo, kok, sendiri? Keluarga lo yang lain mana?" Zelina akhirnya bertanya. Niatnya, sih, ingin bersiaga kalau tiba-tiba Damian muncul juga. Ia harus membangun benteng iman raksasa dulu supaya lelaki itu tidak membuatnya terlena lagi.

"Kak Zel nanyain semua keluarga gue atau Bang Damian doang, nih?" Erika tersenyum jahil. Sontak saja, mata Zelina membulat dengan pipi yang merah merona.

"Eh, anu.... Gue beneran.... Beneran nanyain se--"

"Gue becanda doang, Kak Zel! Jangan gelagapan gitu, loh." Gadis itu terkikik geli. "Bang Dami sama yang lain udah di dalem gerbong. Gue tadi keluar buat beli minum sebentar. Eh, ketemu Kak Zel di sini," jelasnya.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang