18. A n t i b i o t i k

31.5K 3.5K 33
                                    

"Sakit...."

"Iya. Tahan sebentar lagi, ya? Supaya bengkaknya mereda," ujar Damian lembut sambil mengompres pipi Zelina dengan es yang dilapisi kain. Pipi Zelina sudah sedikit berubah warna menjadi ungu samar sekarang. "Nah, sudah selesai. Saya bantu hapus make up dulu, ya? Supaya salepnya langsung meresap ke kulit. Nanti Anda boleh pakai make up lagi setelah salepnya kering," tawar Damian.

Zelina hanya mengangguk pasrah. Pipinya terasa nyut-nyutan sekarang, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ia yakin, make up nya sudah hancur. Belum lagi rasa sakit yang masih sangat membekas di hatinya itu. Tatapan mata Zelina yang biasanya penuh semangat dan kehidupan menjadi sedikit kosong. Damian sangat khawatir akan hal itu.

Tadi, Damian sudah mengirim pesan ke Dokter Ali bahwa Zelina sudah ditemukan dan akan Damian obati dulu pipinya sebelum mereka kembali ke resepsi, jadi Dokter Ali dan Ibu Nina tidak perlu khawatir. Di sinilah mereka sekarang, di kamar hotel Zelina berduaan. Bukankah itu lebih berbahaya?

"Beritahu saya. Mana yang Anda pakai untuk membersihkan riasan?" tanya Damian sembari mengambil tas make up Zelina yang tergeletak di kasur. Zelina hanya menunjuk botol cairan bertuliskan micellar water dan sebungkus kapas.

Oke, mudah. Seperti membuat steril area yang akan disayat saat operasi, pikir Damian. Ia pun membasahi kapas dengan micellar water, hanya saja, ia menuangkan terlalu banyak. Zelina sendiri tidak mau membuang tenaga untuk mengomeli Damian, dia lebih bersyukur akan kehadiran Damian di sini.

Perlahan, Zelina memejamkan matanya. Damian pun mendekat sehingga nafasnya bisa Zelina rasakan berhembus lembut di wajahnya. Dengan telaten dan hati-hati, Damian membersihkan make up dari wajah Zelina. Rasanya nyaman sekali. Berbeda dengan Zelina yang biasanya menggosok-gosokkan kapas dengan kasar ke wajahnya ketika ia membersihkan make up saat pulang kerja.

Damian memperlakukan Zelina dengan sangat lembut dan hati-hati seolah-olah Zelina adalah kaca yang mudah pecah. Seolah-olah Zelina adalah sesuatu yang sangat berharga.

"Nah, sudah selesai. Tinggal saya olesi salep memar." Damian tersenyum bangga dengan hasil pekerjaannya. Wajah Zelina sekarang polos tanpa make up sedikit pun. Buktinya adalah setumpukkan kapas kotor bernoda kecoklatan yang berada di paha Damian sendiri.

Zelina perlahan membuka matanya. Melihat senyuman di wajah Damian membuat suasana hatinya sedikit membaik. "Terima kasih," ujarnya pelan.

"Jangan dulu bilang terima kasih. Ini belum selesai. Sebentar, saya buang dulu kapasnya."

Sejenak mata Zelina membulat ketika melihat banyaknya kapas yang digunakan Damian sebelum ia pergi membuangnya ke tempat sampah di toilet. Zelina biasanya paling banyak menggunakan 4 helai, tapi ia yakin tadi Damian memakai sekitar 10 sampai 12 helai.

Ah, masa bodohlah. Yang penting Damian sudah menolongnya. Jumlah kapas terlalu konyol untuk diributkan saat ini.

Zelina melihat Damian keluar dari toilet sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Pria itu salah tingkah karena ditatap oleh Zelina. "Maaf agak lama. Tadi, saya cuci tangan dulu."

"Gak apa-apa. Boleh gue bilang terima kasih sekarang?"

"Belum. Tunggu sebentar." Damian merogoh salep memar dari kotak P3K yang ia sempat ambil dari mobilnya sebelum ke sini. Ia pun mengoleskan salep tersebut dengan hati-hati ke pipi kanan Zelina, membuat Zelina tersipu malu ketika menyadari betapa dekatnya jarak mereka sekarang ini. Dan, parahnya di kamar hotel berduaan.

Mengapa otaknya baru bekerja sekarang?

Zelina harap Damian tidak menyadari pipinya yang memerah. Apalagi, sekarang sudah tidak ada foundation dan bedak yang menutupinya. Masih sempat-sempatnya pikiran Zelina berkeliaran ke mana-mana di saat seperti ini.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang