6. K a r d i o g r a f

41.2K 4.6K 52
                                    

"Permisi.. "

Zelina berusaha menghindari setiap pasien dan tenaga kesehatan yang berlalu lalang di koridor rumah sakit sementara ia membawa dua kardus penuh bukti transaksi.

Arin sialan!

Batin Zelina memaki-maki Arin karena membuatnya harus mengangkat dua kardus bukti transaksi ini sendiri. Di dalamnya, bukan hanya lembaran faktur saja, tetapi berbagai proposal yang berhubungan dengan keuangan pun disertakan.

Seharusnya, Zelina memakai sepatu sneakers saja hari ini. Heels tujuh sentinya membuat ia kerepotan sekali. Tidak mungkin ia meminjam troli suster untuk membawa dua kardus ini ke parkiran. Selain itu, Zelina juga masih harus mencari taksi online.

Zelina bukannya tidak mampu membeli mobil, tetapi Zelina merasa hal itu tidak penting karena hanya akan menambah kemacetan kota di saat banyak sekali kendaraan umum yang berlalu lalang. Mungkin, Zelina akan mempertimbangkan untuk membeli motor dalam waktu dekat jika tarif taksi online sudah melonjak lagi.

"Semangat, Zel! Tinggal 6 lantai lagi," bisiknya pada diri sendiri sambil menaruh kardus-kardus tersebut di lantai. Zelina pun menekan tombol lift dan menunggu.

Bagian manajemen rumah sakit memang terletak di lantai paling atas, yaitu lantai 9. Dia pun melangkah masuk bersama kardus-kardus tersebut saat pintu lift terbuka dan menekan lantai paling bawah. Zelina terkadang lupa dia pernah menjadi remaja tangguh dan aktif di eskul karate dan modern dance dulu. Kekuatan fisik tubuhnya yang sekarang dan dulu sangatlah berbeda.

Ia menjadi lebih cepat merasa pegal dan lelah sekarang.

Apa ia perlu melatih staminanya dengan memanjat pohon di halaman belakang rumah lagi?

Ya, dia akan mencobanya nanti.

Mengabaikan CCTV di lift, Zelina pun meregangkan tubuhnya dan menguap seperti kucing yang baru bangun dari tidur. Pegal sekali rasanya membawa kardus-kardus itu. Namun, tiba-tiba pintu lift terbuka di lantai 4, menampilkan.... Damian. Lagi.

Zelina pun cepat-cepat menurunkan tangannya karena merasa malu, sedangkan Damian dengan santainya tersenyum dan masuk ke lift. Dia sudah berganti baju sekarang. Scrub yang tadi dipakainya digantikan oleh kemeja panjang berwarna biru tua dan celana khaki yang membuatnya terlihat sangat maskulin, tetapi casual. Ditambah lagi, aroma parfum dan sabun maskulin semerbak di lift.

Mengapa produsen parfum dan sabun tidak adil? Aroma produk lelaki lebih semerbak dan tahan lama dibandingkan produk perempuan milik Zelina yang hilang beberapa saat setelah dia memakainya. Apa ini ada hubungannya dengan trik psikologi?

"Kita sering bertemu, ya, akhir-akhir ini?" ujar Damian memulai percakapan saat pintu lift tertutup. Mengapa waktu terasa lama sekali? Zelina hanya mengangguk dan menatap bagian layar kecil yang menunjukkan nomor lantai.

"Anda berurusan dengan manajemen rumah sakit?" tanya Damian lagi, sebuah fakta baru yang menurutnya asing dan menarik.

"I guess so. Gue kira lo udah pulang," jawab Zelina seadanya.

"Tidak. Saya lebih suka mandi terlebih dahulu sebelum keluar dari rumah sakit. Anda membawa berkas-berkas itu sendirian?"

Zelina mengangguk.

"Mau dibantu?"

Zelina menggelengkan kepalanya. "Gue bisa sendiri. Lo juga pasti capek setelah dinas malam."

"Tidak apa-apa. Saya tidak merasa lelah. Tawaran saya masih berlaku jika Anda mau. "

Zelina menaikkan bahu dan membuat suara "krek" dengan jari-jarinya yang ia lipat dan tekan-tekan. Damian hanya meringis memikirkan sendi, otot, beserta cedera-cedera yang mungkin terjadi karena hal itu. Atau bahkan Arthritis (peradangan sendi) jika sudah sangat parah. Namun, dia memilih diam. Sepertinya Zelina tidak nyaman.

"Terima kasih, Dokter Damian. Tapi, gue bisa sendiri," ujar Zelina seramah mungkin sebelum dia berjongkok dan mengangkat dua kardus berisi berkas sekaligus, menimbulkan suara "krek" lagi ketika dia bangkit dan berdiri tegak.

Damian hanya bisa berharap semoga tulang Zelina tidak mengalami cedera sama sekali.

"Permisi, dokter. Gue duluan." Dan seperti biasa, perempuan tersebut melangkah pergi meninggalkan Damian sendiri bersama pikirannya.

Namun, baru beberapa langkah keluar dari lift, Zelina sudah dikejutkan dengan kehadiran Nina di lobby bersama lelaki paruh baya yang tadi pagi menerima pesanan kateringnya. "Mama? Kok, di sini?"

Nina yang tertangkap basah menjadi gugup dan gelagapan. "Eh, Zelin. Di sini juga? Wah, dunia sempit, ya."

Zelina menghampiri Nina dengan tatapan datar. "Kenapa bis--"

"Selamat pagi, Dokter Ali." Ucapan Zelina dipotong oleh Damian yang datang, menjabat tangan lelaki yang berada di samping mamanya dengan hormat. Rahang Zelina seketika jatuh saat mengetahui Nina bersama seorang dokter senior di sini. Baru kali ini Zelina kehilangan kata-kata. Wajahnya mendadak menjadi pias.

"Selamat pagi juga, Nyonya," tambah Damian, menyapa Nina yang dibalas senyuman. "Pagi."

"Sudah selesai dinas, Damian?" tanya dokter Ali.

"Sudah, dok. Saya baru akan pulang," jawabnya sopan.

"Nah, kenalkan Nina. Ini Damian, salah satu dokter bedah umum muda terbaik di rumah sakit ini," kata Ali memperkenalkan.

Zelina merasa asing sekali. Dirinya merasa shock melihat mamanya bisa kembali dekat dengan pria lain setelah perceraian dulu. Kepalanya seolah berputar-putar, hatinya sakit, jantungnya berdegup sangat kencang, dan mentalnya belum siap melihat Nina akrab dengan lelaki baru. Padahal dia sendiri sering bertanya-tanya mengapa Nina tidak menikah lagi.

"Wah, Nak Dokter. Salam kenal. Saya Nina, Mamanya Zelina. Sudah saling kenal dengan Zelina? "

"Sudah. Salam kenal jug--"

"Mama!" panggil Zelina tegas. Matanya memerah menahan air mata karena merasa ditipu.

Zelina tahu Nina tidak mudah dekat dengan pria baru, jadi pria yang bernama Ali ini pasti sudah lama mengenal mamanya jika ditebak dari kedekatan mereka. Kenapa Nina tidak terbuka dengan Zelina mengenai kedekatannya dengan lelaki ini?

Konsumen katering apanya.... Bilang saja Nina ingin mempertemukan Ali dengan Zelina. Itu kenapa Nina memaksa Zelina untuk mengantarnya pagi ini dan menyuruhnya tidak perlu menunggu Nina tadi. Hatinya sakit sekali. Sesak rasanya dibohongi seperti ini.

Kenapa Nina tidak jujur saja dari awal? Toh, Zelina tidak akan marah, apalagi melarang. Dia hanya tidak suka ketika orang-orang disekelilingnya tidak jujur padanya.

"Nanti kita bicara di rumah. Zelin pergi ke kantor dulu," ucap Zelina dingin sebelum melangkah pergi dari mereka. Air matanya sudah terlanjur jatuh, membuat wajahnya terasa panas, dan dadanya sesak menahan isak tangisnya.

Beberapa langkah berhasil Zelina lakukan tanpa masalah sebelum akhirnya rasa sakit di kepalanya menyerang, degup jantungnya berubah semakin kecang, dan dunia terasa seperti jungkir balik.

Suaranya sangat nyaring terdengar ketika kardus-kardus yang dipegang Zelina tadi jatuh ke lantai. Diikuti dengan tubuh bagian kanan dan kepala Zelina yang membentur lantai cukup keras. Heel 7 cm yang dipakainya membuatnya terpeleset dan hilang keseimbangan.

"Zelina! "

*****

14 Februari 2021

Mama Zelina beger lagi. :(

Zelina mau gak ya punya papa baru?

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang