47. K e r t a s K e r j a

27.6K 3.4K 149
                                    

Hai.

Selamat menikmati :)

*****

"Zel. Jangan ngelamun terus."

"Hah?"

"Mama dari tadi ajak kamu ngomong, loh!"

"Maaf, Ma...." Wanita itu menunduk pelan, ia sudah sebelas dua belas dengan mayat hidup beberapa hari belakangan ini. Rasanya, Zelina kehilangan gairah untuk melakukan apa pun. Jika bukan karena tanggung jawab, mungkin ia juga akan mengabaikan pekerjaannya di kantor.

Zelina belum bisa menyusun kembali hatinya yang patah berkeping-keping. Ia sibuk mengabaikan seluruh pesan dan telepon dari Damian. Pria itu tak kenal lelah mencoba menghubunginya semenjak Zelina menutup buku mereka dengan pengakuan itu.

Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya Zelina mengangkat telepon dan membuka pesan-pesan pria itu. Namun, ia masih tahu diri. Hal terakhir yang ia mau adalah menghancurkan hidup Damian dengan memberi pria itu harapan kosong. Damian pantas mendapatkan wanita sempurna seperti Kirana, mendapat karir sempurna di rumah sakit, dan memiliki hubungan keluarga yang sempurna bersama orang tuanya.

Lihatlah keadaan Zelina sekarang. Meskipun karirnya cemerlang, tapi lebih banyak kelemahan yang ia miliki. Penyakit CTS, masa lalu suram, dan trauma akan komitmen serius dengan seorang pria masih menghantuinya. Boleh jadi, jika Damian membalas perasaannya pun, pria itu hanya akan terluka.

Bahkan, di jadwal fisioterapi kemarin, Zelina sampai harus main kucing-kucingan karena tidak mau bertemu Damian di rumah sakit. Zelina benar-benar takut.... Ia akan nekat berlari ke arah pria itu dan memohonnya agar tidak menikahi Kirana. Bertahun-tahun Zelina menutup diri dari lelaki karena trauma ditinggalkan oleh papanya, baru kali ini ia kecolongan--tanpa sadar membiarkan Damian menyelinap ke relung hatinya. Orang-orang baru menyadari betapa berharganya apa yang mereka miliki sampai sesuatu itu hilang, bukan?

Berbulan-bulan, ia terlalu hanyut dalam kenyamanan yang ditawarkan pria itu, dibutakan oleh afeksi, ditulikan oleh anggapan bahwa apa yang mereka lakukan normal-normal saja dalam pertemanan. Zelina terlalu sibuk menepis benih-benih rasa pada Damian, memaki pria itu dalam hati karena telah menghantui pikirannya. Padahal, sebenarnya, Zelina hanya terlampau takut untuk mengakui perasaannya terhadap pria itu--terlalu angkuh untuk menyadari bahwa afeksi di antara mereka itu nyata.

Lihatlah. Sekarang pria itu harus bersanding dengan orang lain, Zelina yang jadi nelangsa sendiri.

"Kamu kesambet setan di mana, heh?!" Nina mengaburkan lamunan Zelina. Yang ditanya bahkan tidak berani menatap mamanya sama sekali, hanya bisa menggeleng pelan sambil tetap menunduk memandangi nasinya yang sedari tadi belum ditambah lauk apa pun. Jika Zelina memperjuangkan perasaannya pada Damian, apakah Mama akan kecewa padanya? Damian tidak mencintai Kirana.... Apakah ia masih dianggap pengganggu jika seperti itu?

Zelina menghela napas sendu. Ia tidak boleh egois. Kirana lebih dulu mengenal Damian. Tentu saja, ia hanya akan menjadi pengganggu dan membawa malu pada keluarga karena dekat-dekat dengan pria yang sudah memiliki calon istri.

"Ya ampun, Mas! Rumah sakitmu itu banyak setannya, kah? Lihat! Zelina jadi sering melamun semenjak bolak-balik untuk fisioterapi," omel Nina kepada suaminya.

"Hus, Nin. Mungkin Zelina sedang banyak pikiran saja karena pekerjaannya," timpal Ali sebelum mengelus kepala putrinya pelan. "Kamu jangan terlalu stress di kantor. Nanti proses pemulihan CTS-mu melambat, Zel."

Zelina hanya mengangguk pelan. Pekerjaan kantor tidak ada apa-apanya ketimbang kondisi hatinya saat ini.

"Kamu lebih baik main ke luar. Senang-senang. Ketemu sama teman-temanmu. Apalah itu. Daripada melamun terus di rumah. Besok weekend, kan? Nikmati hidup kamu sekali-kali. Jangan kerja terus yang kamu pikirin." Nina mengomeli sambil menyendok lauk ke piring Zelina. Wanita itu hanya mengaminkan. Mungkin Nina benar. Ia harus coba ke luar untuk menikmati hidup--bertemu teman-teman. Tidak baik juga terus terpuruk seperti ini.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang