3. J u r n a l U m u m

51.8K 5.5K 80
                                    

"Pelan-pelan! Sakit tau...."

Zelina merintih ketika sosok misterius di hadapannya ini membawanya entah kemana,   atau lebih tepatnya, menyeret pergelangan tangannya yang masih dipegang erat melewati taman rumah sakit ke gedung sebelah yang terlihat lebih tenang.

Zelina tidak bisa melihat jelas wajah laki-laki itu karena ia berjalan di belakangnya. "Lo mau bawa gue ke mana?" cicit Zelina ketika mereka memasuki lift di dalam gedung C.

Rasa parno dan khawatir menyerang pikiran Zelina karena sedari tadi, lelaki misterius ini tidak kunjung melepaskan genggamannya. Bahkan ketika lift terbuka, lelaki itu tetap menarik pergelangan tangannya terburu-buru.

"Lepasin tangan gue, woi! Lo mau ngapain gue?!" berontak Zelina ketika mereka melewati lorong lantai 4 gedung C yang sepi.  "Orang mesum, ya, lo?!" tuduh Zelina lagi ketika pria itu tiba-tiba menariknya memasuki sebuah ruangan gelap dan seketika pergelangannya dilepas.

"G-gue di mana?"

Rasa takut Zelina menguap begitu saja ketika lelaki itu menekan saklar lampu. Zelina dapat melihat dengan jelas bahwa dia sedang berada di sebuah ... ruang praktik dokter? Zelina mulai menyadari aroma dan barang-barang yang ada di sini hampir 90% mirip dengan klinik dokter yang Zelina datangi ketika sakit.

"Maaf, sudah menyeret Anda. Tapi, luka anda harus segera ditangani."

Tatapan mata Zelina terpaku padanya. Wajah tampan, rahang tegas, iris mata terang, dan tubuh tegap itu membuat Zelina terpesona sehingga pipinya memerah. Ia pu. menggelengkan kepalanya perlahan dan melihat tangannya yang melepuh.

"Sini, biar saya obati. Kalau terlalu lama, bisa infeksi."

Zelina mengangguk pasrah sembari mendekatinya. Lelaki itu menyalakan keran wastafel. Dia kembali memegang pergelangan tangan Zelina dan membiarkan tangan gadis tersebut dialiri oleh air dingin.

"Sakit.... "

"Iya, tahan sedikit. Tangan Anda masih ada sisa sup-nya."

Enak banget wanginya.

Aroma parfum pria misterius ini membuat Zelina mulai merasa nyaman. Dia tidak pernah bermasalah dengan aroma ruangan dokter,  tetapi parfum lelaki ini membuat segalanya lebih baik. Dia bahkan sudah merasa lumayan tenang sekarang.

"Silahkan duduk di sana. Saya ambilkan obatnya dulu," kata pria itu. Zelina hanya mengangguk menuruti apa katanya sambil menatap tangan yang sudah merah sekali,  seperti ketumpahan blush on menor milik Amelia.

"Pelan-pelan! Sakit...," rengek Zelina saat pria itu mengeringkan tangannya dengan tisu, lalu mengoleskan krim luka bakar di sana.

"Iya,  tahan sedikit lagi.... Nah,  sudah selesai. Lain kali, jangan ceroboh lagi. Ini, Anda bisa bawa pulang krimnya. "

Tiba-tiba perutnya berbunyi nyaring.

"Eng.... Iya, makasih, ya. "

Zelina menunduk malu.

Sialan banget, lo, Zel! Bisa-bisanya perut lo bunyi di saat kayak gini?! Makinya dalam hati.

Lelaki itu pun terkekeh, membuat Zelina semakin malu. "Sebentar. Biar saya perban dulu." Zelina hanya mengangguk melihat betapa telatennya pria misterius ini membalut luka yang menurut Zelina tidak terlalu parah. "Nanti Anda oles kembali krim luka bakarnya sebelum tidur. Kalau memungkinkan, perban kembali supaya tetap lembap. "

Kalau Zelina terluka seperti ini di rumah,  dia pasti hanya mengoleskan krim luka bakar saja tanpa perlu repot-repot diperban.  Dia sedikit meringis ketika merasa lukanya tergesek oleh perban yang masih dililitkan tersebut.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang