20. T e n s i m e t e r

32.2K 3.9K 31
                                        

"Kamu yakin mau pergi sekarang, Zel? Acara resepsi mama belum selesai. Mama gak bisa anter kamu."

Nina menatap Zelina tidak rela. Sekarang sudah hampir jam sembilan, tandanya Zelina harus pergi ke bandara untuk tugas kantornya. "Kamu yakin mau pergi sendiri? Ini sudah malam."

Tidak ada yang bisa mengantar Zelina karena Alfian langsung berpamitan beberapa menit setelah tampil, sedangkan Arin dan Rafa sudah kembali ke kamar hotel mereka karena Arin merasa lelah.

"Zelin yakin, Pa. Kan ada taksi online. Aman, deh!"

Zelina mulai memanggil Ali sebagai Papa setelah acara dansa tadi. Ia merasa senang dan bangga memiliki papa seperti Ali. Zelina percaya bahwa Ali akan selalu menjaga dan membahagiakan mamanya. Bagi Zelina, dasar itu cukup untuk membuat Ali pantas menyandang status sebagai papanya, meskipun tiri.

"Kamu hati-hati di sana. Jangan lupa makan, jangan lupa jaga kesehatan. Kalau Mama sampe denger kamu sakit, Mama sendiri yang bakal seret kamu balik ke Indonesia." Nina memeluk Zelina erat, tidak mau melepaskan putri satu-satunya itu.

Zelina hanya terkekeh kecil. "Pa, liat, nih. Istri baru Papa gak mau lepasin Zelin." Zelina berpura-pura mengeluh pada Ali.

"Kembali secepat mungkin, oke? Kamar baru kamu di rumah Papa sudah menunggu," ujar Ali sambil menepuk pundak Zelina lembut. Setelah pernikahan ini, rumah lama Zelina memang hanya akan difokuskan untuk tempat katering mamanya sedangkan mereka akan pindah ke rumah Ali.

Zelina pun hanya mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Pa.... Ma, peluknya udah, dong. Nanti Zelin ketinggalan pesawat."

Dengan susah payah, Nina pun melepaskan pelukannya dari Zelina, matanya sedikit memerah. "Udah, jangan nangis lagi. Mama punya Papa Ali sekarang. Kasian dong. Masa malam pengantin dikasih nangis," goda Zelina yang membuat Nina cemberut.

"Bocah gak usah sok tau," sungut Nina, membuat Zelina terkikik geli. "Zelin berangkat, ya, Ma, Pa. Doain Zelin."

*****

"Anda mau ke mana?"

Pertanyaan itu terlontar dari bibir Damian begitu saja. Mereka berdua sedang berada di mobil Damian. Tadi, saat Damian hendak pulang, ia melihat Zelina menyeret koper besarnya di lobi hotel.

Awalnya, Zelina terkejut sekali. Zelina kira Damian sudah pulang karena ia tidak menemukan Damian di mana pun setelah selesai berdansa dengan Alfian.

Padahal, Damian sedang keluar mencari udara segar untuk memadamkan api cemburu yang tercipta karena melihat kedekatan antara Alfian dan Zelina. Damian sadar, seharusnya ia tidak merasa begitu karena Zelina hanyalah temannya saja dan tidak lebih.

Setelah Zelina memberitahunya bahwa ia akan ke bandara, Damian pun menawarkan tumpangan. Zelina pikir, tidak ada salahnya menerima tawaran itu karena mereka berteman dan di sinilah mereka sekarang.

"Gue mau ke Inggris. Urusan pekerjaan," cicit Zelina. Entah mengapa, sulit rasanya untuk santai di saat seperti ini. Mengapa Zelina merasa seolah-olah ia bertanggung jawab atas suasana hati Damian?

"Inggris? Jauh sekali, ya."

Zelina hanya mengangguk pelan. "Lo gak apa-apa nganterin gue ke bandara? Ini udah malem. Orang tua lo gak nyariin?"

"Saya pulang ke rumah sakit malam ini. Besok pagi saya ada jadwal operasi. Orang tua saya sudah maklum," jawab Damian santai, padahal hatinya terasa mencelos karena Zelina akan pergi. "Oh, iya. Berapa lama Anda akan berada di Inggris? Mungkin saya bisa menjemput saat Anda kembali."

"Lo mending fokus sama pasien lo aja. Gue pulangnya masih lama. Bisa sebulan atau lebih. Kasusnya lumayan serius."

Dada Damian jadi terasa sesak, ia kira Zelina hanya akan pergi selama seminggu. Ternyata sebulan atau lebih. "Lama sekali...," gumamnya yang terdengar oleh Zelina.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang