2. S n e l l i

55.9K 5.8K 79
                                    

"Dokter Damian, ini data pasien penderita usus buntu yang akan dioperasi jam 1 siang nanti."

"Terima kasih."

Suster Eva meletakkan berkas pasien di meja Damian. Ia pun mengangguk dan membaca rekam medis pasien dengan seksama sementara Eva keluar dari ruangannya. Fokusnya sedikit terbagi dengan persiapan acara peresmian gedung malam ini.

Bisa Damian lihat jelas dari jendelanya, pekerja event organizer bolak-balik ke sana kemari mendekorasi gedung dan penyedia katering mulai berdatangan dengan makanan yang banyak sekali. Pihak rumah sakit yang menghadiri peresmian memang hanya 25%, tetapi mereka juga mengundang relasi dan pihak-pihak luar yang sudah bekerja sama dengan rumah sakit setahun belakangan ini. Mungkin sekitar seribu lebih tamu undangan akan datang ke sana karena relasi papanya itu memang banyak sekali.

Setelah berdebat dengan Dani--papanya-- kemarin malam, Damian akhirnya setuju menghadiri acara tersebut dengan syarat bahwa ia tidak diperkenalkan sebagai anak Dani. Cukup adik kembarnya saja--Erika dan Erlangga-- yang diperkenalkan sebagai anak. Ia ingin bebas berbaur dengan siapa pun tanpa harus bergabung dengan keluarganya.

Damian memang keras kepala seperti mamanya--Tita, sedangkan Dani lebih pintar bernegosiasi dan otoriter. Orang tuanya memanglah sebuah kombo yang komplit jika disandingkan bersama. Terkadang Damian merasa iri pada mereka yang memiliki pasangan.

Ketampanannya tidak perlu diragukan, pendidikan Damian sangat baik, dan hidupnya mapan meskipun ia belum pisah rumah dengan orang tuanya. Damian ingin membeli rumah saat punya istri saja nanti, biar istrinya yang memilih karena Damian mau pasangan hidupnya nyaman. Hanya saja, hatinya tidak kunjung terbuka untuk wanita lain. Bayang-bayang masa lalu masih saja menghantuinya. Kesalahan terbesarnya. Menjadi seseorang yang hanya berani menyukai dari jauh. Menjadi seseorang yang ingin melupakan hanya untuk kembali membandingkan.

Kapan dia akan memiliki pasangan hidupnya sendiri?

*****

"Ma, kenapa Mama mau ikut?"

Nina sudah siap dengan gaun panjang dan riasan sederhana yang membuatnya nampak elegan sementara Zelina berbaring di kasur Nina dengan bibir yang mengerucut.

"Nyariin kamu calon suami."

Zelina memutar bola mata. "Tapi, temen kantorku gak ada yang bawa orang tuanya ke sana."

"Karena mereka pergi sama pasangannya. Kamu, kan, jomblo. "

Skakmat.

Ingin rasanya Zelina mengubur diri sendiri. Tidak terbayang bagaimana dia akan diejek oleh teman satu timnya di sana. Sebelumnya,  Zelina sempat berkilah bahwa tidak boleh membawa plus one. Namun, sial! Mata Nina lebih teliti sehingga dia bisa menemukan kata-kata kecil, 'Dengan tidak mengurangi rasa hormat, undangan ini terbatas untuk dua orang saja.' di bagian bawah undangan tersebut.

Zelina sempat berkonsultasi dengan Arin. Kesalahan besar. Arin lebih menyebalkan. Ia malah menggodanya habis-habisan mengenai Zelina yang ditemani Nina, sedangkan rekan kerjanya ditemani pasangan mereka masing-masing.

Arin ditemani suaminya, Rafa. Amelia ditemani tunangannya, Dika. Sedangkan, Dion dan Arya pergi untuk membeli perlengkapan naik gunung. 

Zelina hanya mendengus ketika kemarin Arin mengerjainya. Dia pikir Arin akan membantunya meyakinkan Nina supaya ia tidak perlu ikut. Namun, Arin malah ikut-ikutan berkomplot dengan Nina yang bercanda mengenai mencarikan suami untuk Zelina.

Arin kampret, Arin sialan!

"Ayo, berangkat. Mama udah siap. Kamu udah pesen taksi online?"

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang