46. C o d e B l u e

27.1K 3.6K 92
                                    

Hai.

Selamat menikmati :)

***

Canggung.

Sedari tadi, belum ada yang berani memulai percakapan. Baik Zelina atau Damian masih terdiam di ruang tunggu poli fisioterapi itu. Masih ada satu pasien sebelum Zelina masuk. Saat keluar dari lift, mungkin karena setan penunggu rumah sakit, Damian mengikuti Zelina sampai ke sini. Jantung Zelina berdebar keras bukan main karena Si Seksi yang ia sangat rindukan itu.

Damian akhirnya berdeham, memecah keheningan. "Kamu kenapa ke poli fisio? Pundakmu sakit lagi?"

Zelina menggeleng pelan dan menunduk sendu, ingin rasanya ia menoleh dan menghabiskan waktu memandangi pria yang ia tidak bisa miliki itu. "Carpal tunnel syndrome."

"Sejak kapan?" Damian mengerutkan alis khawatir. Zelina tidak pernah memberitahunya pasal ini sama sekali, mereka memang jarang berhubungan lagi belakangan ini.

"Udah lama ternyata. Tapi, semenjak jatoh di Malang, gejalanya makin parah."

"Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya?"

Sekarang Zelina terdiam. Ia saja baru tahu setelah Ali menjelaskan hasil pemeriksaan itu. Penyakit ini memang cenderung menyerang orang-orang dengan pekerjaan berulang dalam jangka waktu yang lama; seperti pekerja kantoran yang sering mengetik, murid yang sering menulis, ibu rumah tangga yang sering mengerjakan pekerjaan rumah, dan buruh pabrik yang rutinitasnya berulang selama berjam-jam.

Biasanya, sindrom ini ditandai dengan rasa nyeri, kebas, kesemutan, mati rasa, dan bahkan tremor di tangan dan jari. Zelina kerap kali merasakan nyeri dan tremor saat pekerjaannya terlalu banyak. Selama ini, ia kira ia hanya pegal biasa dan stress karena kurang tidur-- Zelina pernah mencari sebab tremor di internet. Karena itu, ia tidak ambil pusing dan hanya memakai koyo. Eh, tangan Zelina yang menghantam batu seolah menambah parah kondisinya. Kejadian saat makan malam itu adalah kali pertama Zelina sampai tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali, kali pertamanya merasa mati rasa. Hal itu sangat mengerikan.

Tentu saja Zelina tidak akan bercerita panjang lebar pada Damian. Mulutnya masih tersumpal. Bahkan, wanita itu masih menimbang-nimbang apakah ia pantas untuk berbincang sedekat ini dengan Damian. Ia tidak mau menjadi penganggu. Jangan sampai Damian benar-benar kehilangan segalanya hanya karena Zelina.

Pintu ruang fisioterapi 3 yang terbuka seolah menjadi penyelamat bagi wanita itu saat ini. Ia bernapas lega dan segera berdiri sambil memegang tasnya dengan erat. Matanya masih tidak berani menatap pria itu sama sekali.

"Gue duluan, Damian."

Tanpa menunggu balasan, Zelina kabur ke ruang fisioterapi, meninggalkan Damian yang terpaku di kursinya penuh tanda tanya. Wanitanya ... berubah. Sangat berubah. Apa Damian berbuat salah? Demi jawaban itu, Damian keras kepala menunggu Zelina sampai selesai di ruang tunggu. Sesi 30-60 menit itu bukan apa-apa dibandingkan kemungkinan Damian bertahun-tahun kehilangan Zelina.

****

"Kamu marah sama saya?"

Zelina menatap sendu meja di antara mereka dan menggelengkan kepala. Ia masih tidak yakin jika keputusannya mengiyakan ajakan Damian untuk berbicara benar. Apalagi, ini masih di lingkungan rumah sakit. Jika Kirana atau Dokter Dani sampai dengar, nasib Damian semakin di ujung tanduk.

Hanya Tuhan yang tahu betapa rindunya Zelina tertawa lepas dan bercanda dengan Damian. Namun, ia bisa apa? Status di hidup Damian saja tidak punya. Ia memang baru menyadari perasaanya kemarin, tapi boleh jadi, Damian menganggapnya tidak lebih dari sekadar teman, kan? Seandainya Damian memiliki perasaan lebih pun, Zelina tidak berani berbuat apa-apa. Ia masih dibayangi oleh trauma masa lalu, belum lagi seluruh konsekuensi itu.

ZelianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang