-26- SUDUT PANDANG RISKA 2

74 5 0
                                    

Happy reading ^^
_____________________

Hari itu Riska sedang duduk termenung di depan Halte sekolahnya. Dia melihat banyak pasangan muda-mudi, teman sejawatnya tengah mesra berangkulan sambil berjalan hendak pulang.

Riska berulang kali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Huh, tumben banget papa telat jemput aku! Pasti lagi jemput si anak manja dulu deh!" gerutunya.

Sambil menunggu ayahnya menjemput, Riska berpikir cara apalagi untuk membuat Bulan dan Langit semakin menjauh atau bahkan mereka harus saling membenci satu sama lain. Bukan apa-apa Riska tidak mau semua usahanya selama ini untuk memisahkan Bulan dan Langit berakhir sia-sia.

Tiba-tiba sebuah mobil sudah terparkir di depannya. Keluarlah Arnold—pamannya dan Reva—sepupunya, Reva merupakan anak Arnol dan masih berusia empat tahun.

"Paman?" heran Riska.

"Kak Iska!" pekik Reva.

"Hai Reva!" balas Riska memekik lalu mereka pun saling berpelukan.

"Riska ayo pulang! Papa kamu gak bisa jemput kamu, jadi paman yang jemput."

Riska hanya mengangguk, lalu mereka pun masuk ke dalam mobil Arnold.

Di dalam mobil Riska duduk di bangku belakang bersama Reva. Dengan senang hati, dia mendengarkan semua cerita sepupunya itu.

"Dady, aku mau es klim!"  pekik Reva dengan cadelnya.

"Tapi kemarin kan udah beli, sayang. Masa beli es krim lagi, sih!"

Reva menyilangkan kedua tangannya di depan dada, tampaknya dia sedang kesal. "Ih, tapi aku belum kenyang makan es klimnya, Dady!

Arnold tertawa melihat tingkah putrinya. "Iya-iya, nanti kita mampir dulu ke toko es krim. Kita makan es krim bareng Kakak Riska juga, okay?"

Bangku mobil yang Riska duduki bergoyang karena Reva yang bersorak kegirangan. "Hore!!"

Riska hanya tersenyum melihat tingkah Reva.

Kini Reva dan Riska dan juga Arnold sedang duduk di kursi taman. Di masing-masing genggamannya terdapat es krim yang sama.

Riska menatap pedih dirinya. "Paman, kenapa papa gak bisa jemput aku? Emang sekarang papa lagi ngapain?"

"Papa kamu sedang ngantar Bulan ke tempat bimbingan belajarnya." Arnold menoleh. "Emang kamu gak senang dijemput sama paman dan Reva?"

Melihat raut wajah sedih dari Paman dan sepupunya, Riska buru-buru menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu maksudnya, paman."

Arnold melihat raut sedih terukir di wajah keponakannya. "Kamu kenapa, Ris?"

Riska menggelengkan kepalanya. "Andai aja papa aku kayak paman Arnold. Pasti aku bahagia banget kayak Reva."

"Emang papa kamu kenapa? Dia gak sayang kamu?" tanya Arnold.

"Aku rasa begitu. Semenjak Bulan lahir, sikap mereka berubah terhadapku. Mereka lebih mementingkan Bulan, beli mainan baru buat Bulan, baju baru buat Bulan, pokoknya apapun untuk Bulan!" Riska sebal jika mengingat semua itu.

Rain Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang