30. Bicara

775 117 1
                                    

"Sial!" umpat Alevan melempar tasnya pada rumput hijau yang memenuhi lingkungan taman kampus. Beberapa orang menatapnya dengan bingung dan beberapa lagi nampak tertarik dengan dirinya.

"Apa-apaan!" keluh pemuda itu terduduk di rumput sambil mengacak rambutnya.

"Ervan, Revan, Alevan. Apalagi, Tuhan!?" Alevan mendongakkan kepalanya dengan pasrah. Matanya menyempit ketika terkena pancaran sinar mentari pagi.

Tiba-tiba Vanessa berdiri menaungi Alevan, gadis itu juga terlihat kesal. Alevan menarik tangan Vanessa untuk duduk disampingnya.

"Kau melihatnya? Rektor kampus adalah Revan. Benar 'kan? Hampir satu tahun kita hidup damai, pagi sarapan dan malam jalan-jalan. Tiba-tiba dia datang lagi, membuatku kesal saja! Berlagak menjadi Ervan! Huh!"

Vanessa hanya diam memperhatihan Alevan yang tengah mengoceh. Kedua tangannya menopang dagunya sendiri, ia suka mendengar suara Alevan. Bahkan selama berada di Indonesia, yang ada dikepalanya hanya Alevan. Vanessa rutin mengikuti les bahasa Spanyol hanya agar bisa kuliah bersama Alevan.

"Heh?" tegur Alevan membuyarkan lamunan Vanessa.

"Tenang dulu, mungkin hanya kebetulan. Ayo, kita kembali kesana." Vanessa memungut tas Alevan lalu mengajak pemuda itu untuk bangkit.

"Tidak ada kebetulan seperti ini," ucap Alevan malas dan satu tangannya bergerak menggandeng tangan Vanessa.

Mereka kembali keruangan besar itu, mendengarkan para staf kampus pidato bergantian. Namun dimana pria bernama Ervan El Alexander itu berada? Batang hidungnya tak terlihat diantara orang-orang berdasi itu.

Beberapa jam berlalu, akhirnya Alevan beserta yang lain resmi diterima sebagai mahasiswa dan mahasiswi Campus High Barca. Tepuk tangan bergemuruh, juga teriakan fanatik betapa bahagianya bisa kuliah di kampus nomer satu kota Barcelona itu.

Alevan menoleh pada gadis disampingnya, Vanessa nampak sangat senang dengan senyum lebar dan tepuk tangannya. Pandangan Alevan beralih pada ambang pintu ruangan, pria yang dicarinya tengah berada disana menatap pada semua orang atau mungkin menatap dirinya.

"Ayo! Aku ingin berkeliling!" ajak Vanessa menarik tangan Alevan dan sesegera mungkin meninggalkan ruangan aula.

Vanessa mencoba mengingat kelas demi kelas yang akan menjadi tempat belajarnya besok. Lain halnya dengan Alevan, pemuda itu hanya diam tanpa seulas senyum saat mendapat sapaan dari para gadis.

"Besok, kelasnya MRS. Pretty, lalu MR. Motaph, kemudian--"

"Bisakah kau diam? Mengoceh terus!" gerutu Alevan membuat kalimat Vanessa terhenti. Alevan mempercepat jalannya meninggalkan Vanessa yang tengah mengejarnya.

Langkah mereka tiba didepan sebuah pintu setelah Alevan memutuskan untuk menaiki tangga tanpa henti.

"Jangan! Aku takut, para preman kampus berada disana," cegah Vanessa namun ditepis oleh Alevan.

Alevan membuka pintu tersebut dan seketika matanya terpana menatap pemandangan rooftop dihadapannya. Alevan berjalan santai berputar mengelilingi titik tertinggi dari gedung kampus. Senyumnya merekah dan dengan cepat ia menjatuhkan tas lalu merentangkan kedua tangannya.

Vanessa ikut tersenyum lalu berjalan ketepi gedung yang diberi pembatas besi besar. Dari atas ia melihat banyak orang berlalu lalang, terik matahari tak menghalangi mereka untuk menikmati semilirir angin pagi dari gedung rooftop.

"Nessa, apa kau mempunyai kekasih?" tanya Alevan spontan membuat Vanessa menoleh. Rambutnya berterbangan membuat kesan tersendiri bagi Alevan.

"Tidak, untuk apa," jawab Vanessa mendekati Alevan.

"Baguslah, aku tidak suka saja." Alevan berucap santai lalu berjalan keposisi Vanessa berdiri tadi. Ia duduk ditepi gedung dengan kaki menjuntai disusul oleh Vanessa tanpa rasa takut sedikit pun.

"Pasti menyenangkan jika nanti malam kita berjalan mengelilingi kota, kau pasti mau 'kan?" tawar Alevan, tentu saja Vanessa mengangguk.

Alevan menatap lurus kedepan. Matanya terpejam perlahan. "Sudah terlalu banyak masalah, aku hanya ingin menjadi manusia normal." Ucap Alevan membuat Vanessa tertegun.

"Bukankah kita sudah melewatinya, santai saja." Balas Vanessa seketika membuat Alevan menoleh dan tanpa aba-aba merangkul bahu gadis itu. Vanessa melotot, antara bingung dan malu. Mungkin pipinya sudah memerah.

"Berjanjilah, kita akan menghadapinya bersama lagi," tutur Alevan mengacungkan jari telunjuknya. Vanessa mengaitkannya dengan jari telunjuknya kemudian tersenyum.

"Aku, kau--"

"Selena, Roman dan Ramsey!" potong Vanessa atas ucapan Alevan.

"Ah! Selena lagi, membuatku kesal saja! Ya sudah, tinggalkan tempat ini. Aku lapar, mari kita makan." Ajak Alevan mengulurkan tangannya. Mereka pun pergi meninggalkan rooftop kampus menuju kantin terdekat untuk mengisi perut.

Bicara soal Selena, saat ini ia tengah berhadapan dengan kepala sekolah dan beberapa guru pengajar lainnya. Juga ada Loli dan orang tuanya, Roman menunggu diluar ruangan kepala sekolah tersebut.

"Dad, dia yang melukai kepala ku," adu Loli pada sang ayah. Pria dengan rambut putih itu menatap Selena tajam, bukannya takut, Selena malah balas menatap bahkan dengan smirk yang tak pernah lepas dari bibir mungilnya.

"Selena Aneska, kau ini. Baru hari pertama dan kau sudah membuat masalah," tegur kepala sekolah membaca sebuah kertas yang mungkin berisi data diri Selena.

"Aku tidak membuat masalah, dia yang membuat masalah dan aku hanya meneruskan," ucap Selena tanpa rasa takut. Loli kembali menangis memegang perban dikepalanya.

"Heh! Dasar anak kecil tak tahu malu!" Ibu dari Loli mendorong bahu Selena dan hal itu langsung dihentikan oleh salah seorang pengajar.

"Um, sepertinya kau yang tak tahu malu. Memakai pakaian ketat dan terbuka, sedang aku tertutup dan tertata rapi. Benar?" tanya Selena membuat seisi ruangan bungkam.

"Selena, nampaknya kau memang suka mencari masalah." Ucap seorang pengajar lelaki yang membawa Loli meninggalkan kelas beberapa waktu lalu.

"Masalah yang mencariku, bukan aku yang mencari masalah." Balas Selena mantap.

"Meminta maaf padanya," perintah kepala sekolah pada Selena.

Selena menyerngit. "Suruh dia dulu minta maaf padaku," elak Selena benar-benar membuat ibu dari Loli marah lalu menjambak rambut Selena yang sudah tertata rapi. Para pengajar kembali menjauhkan wanita tersebut dari Selena.

"Memangnya apa salah dia padamu?" tanya kepala sekolah.

"Dia mengejekku," singkat Selena.

"Lalu apakah dengan menusuk kepalanya dengan pulpen berhasil membalas ejekannya?" tanya kepala sekolah lagi.

"Apa aku bisa melakukan lebih?" tanya Selena membuat para pengajar terdiam begitu pun kepala sekolah.

"Oke. Ini hanya masalah anak-anak, Loli minta maaf padanya," perintah sang ayah pada anaknya. Loli hendak menolak namun ayahnya menampilkan tatapan memelas dengan telunjuk tertuju pada Selena.

Loli pun mengulurkan tangannya, Selena menjabatnya. Belum sempat Loli bicara, Selena sudah memotongnya.

"Lain kali kalau mau mengejekku, katakan satu hari sebelumnya agar aku dapat menyiapkan semuanya," ucap Selena menatap Loli dengan tajam.

"Ups, maafkan aku." Selena meminta maaf lebih dulu. Ia menatap kepala sekolah dan ibu dari Loli bergantian. Tanpa permisi, Selena keluar dari ruangan. Tawanya dapat terdengar dengan suara tepuk tangan dari temannya yaitu Roman.

"Awasi Selena," perintah kepala sekolah pada pengajar pria yang berada diruangan.










TBC

Te Amo 2 ( Alevan Dykara )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang