48. Permintaan

489 106 22
                                    

Alevan turun dari mobil setelah menutup kepalanya dengan tudung hoodie seperti biasa. Alea yang melihat hal itu hanya diam, disusul oleh Vanessa yang turun dengan sopan mencium punggung tangannya.

"Sampai jumpa!!" teriak Selena saat Vanessa sudah menjauhi mobil menyusul Alevan yang sudah tak terlihat lagi.

"Selena, kau yakin ingin pergi kesekolah?" tanya Alea memastikan sembari tancap gas meninggalkan kawasan kampus.

"Tentu saja," balas Selena cepat.

"Jangan berulah lagi," pinta Alea tersenyum pada anaknya.

"Semoga Roman juga masuk hari ini. Membosankan, beberapa hari ini hanya Ramsey yang menjadi lawan bicaraku, kau sibuk, daddy juga, Kak Van hanya diam, sedangkan Kak Nessa nampak tak ingin bicara denganku." Selena mengeluarkan isi hatinya dengan tatapan kesedihan pada sang ibu.

"Maafkan kami," ucap Alea.

Mobil berhenti didepan gerbang sekolah Selena. Alea melepaskan sabuk pengaman anaknya itu lalu membukakan pintu dari dalam.

"Selamat belajar!" kata Alea penuh semangat. Selena mengangguk kemudian mencium sekilas pipi ibunya lalu turun dari mobil.

Tok! Tok! Tok!

Saat Selena sudah masuk kedalam area sekolah, tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobil Alea saat wanita itu hampir tancap gas. Orang itu adalah, Ervan.

Ervan mengambil alih kemudi mobil, mobil pun pergi meninggalkan sekolah. Mobil itu berhenti digedung apartemen, Ervan sengaja membuka kaca mobil agar satpam penjaga dapat melihat mereka dan saat hal itu benar-benar terjadi, satpam tua berusia setengah abad itu meneteskan air matanya.

Ervan turun dari mobil menggenggam tangan Alea, membawa gadis itu memasuki lift dan berakhir pada lantai dimana kepala Alea tiba-tiba mengingat semuanya.

"Van."

Langkah mereka terhenti, Ervan sudah menerka kalau wanita itu akan menangis dan ternyata benar. Namun kali ini ia tidak bertanya dan memilih kembali melanjutkan langkahnya hingga mereka tiba didepan pintu sebuah apartemen.

Ting!

Pintu terbuka setelah Ervan memencet kode angka delapan digit. Alea tak bisa berbuat apapun, kakinya ingin mengajaknya untuk berlari meninggalkan pria itu, namun hatinya berkata lain.

Ervan mendudukkan disofa masih dengan genggaman tangan yang belum terlepas.

"Aku tahu semuanya."

Deg!

Jantung Alea bagai berhenti berdetak.

"Aku bertemu Avika."

"Di Indonesia."

Ervan menatap Alea begitu dalam.

"Kau ingat tempat ini?" tanya Ervan. Untuk mengangguk dan menggelengkan kepala saja Alea tak mampu.

"Semuanya sudah terlalu jauh ya." Ervan bersuara membuat Alea berani menatapnya, kalimat sama yang diucapkan seseorang pada satu tahun lalu sebelum seseorang itu hilang dalam halusinasinya.

"Andai kita tidak bertemu, kau akan selalu terjebak dalam mimpi buruk dan perasaan yang sama tentangnya."

"Tapi aku bukanlah dia."

"Avika, dia bercerita banyak. Tentang dirimu, dirinya dan juga Artha Launez."

"Kalian berdua sangat malang."

"Terjebak dalam cinta yang hanya menimbulkan luka dan mimpi buruk. Mengapa? Kau masih bertahan dengan perasaan itu? Bagaimana perasaan suamimu? Apakah seperti suami Avika, hanya diam saat wanitanya mengharapkan pria lain untuk mendampinginya."

Te Amo 2 ( Alevan Dykara )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang