Mobil yang dikendarai Alevan dan Paman Gino tiba didepan sebuah gedung apartemen. Paman Gino langsung turun diikuti Fadil sementara Alevan dan dua bocah tersebut masih berada didalam mobil.
"Tunggu!" cegah Selena saat Alevan bersiap turun dari mobil.
"Kak, kau tidak bisa masuk," ucap Selena hingga Roman ikut menyerngit.
"Kau akan--"
"Aku tidak peduli!" acuh Alevan lalu turun dari mobil. Langkahnya begitu cepat menyusul sang ayah dan sang paman yang sudah jalan lebih dulu.
"Arghhh!" tiba-tiba Alevan mengerang kesakitan hingga tubuhnya terpental beberapa meter dari pintu masuk.
"Sudah ku bilang," malas Selena lalu turun dari mobil diikuti Roman.
"Apa? Kenapa!? Aw! Rasanya tulangku remuk semua," rintih Alevan pelan.
"Kau tidak bisa masuk, dia sudah memantarai gedung ini--"
"Kau kira ini dunia sihir!?" potong Alevan lalu menyenderkan punggungnya disebuah pohon.
"Tunggu, maksudmu?" tanya Roman bingung.
"Kau ingat, lelaki tua yang pernah membisikimu?" tanya Selena. Roman mengangguk perlahan.
"Pegang tanganku!" perintah Selena cepat. Roman pun memegang tangan Selena kemudian memejamkan matanya, Alevan masih merintih kesakitan.
Flashback pikiran Selena.
Seorang pria tua berdiri dihadapan jasad sang anak yang dipenuhi banyak darah, diperkirakan kalau jasad tersebut sudah tak bernyawa lagi sehabis terjun bebas dari rooftop gedung. Pria itu bernama Baraq, ayah kandung seorang Revandy Qayro. Terlihatlah seorang lelaki yang melangkah cepat menghampiri pria tersebut, dia adalah Artha, atau yang sekarang menjadi sosok Launez.
"Artha. Masukkan Revan kemobil," titah Baraq lalu pergi lebih dulu. Artha mengangguk dan menurut saja.
Tiga hari setelah kejadian tersebut, lebih tepatnya kamar apartemen milik Revan. Baraq tengah menatap sebuah peti mati yang terbuka. Banyak barang-barang sakral seperti beberapa botol darah merah yang masih segar, kepala kambing dan seutas tali yang berasal dari rambut panjang seorang wanita.
"Artha, tutup pintunya," titah Baraq. Artha yang sedari tadi berdiri diambang pintu langsung menutup pintu sesuai perintah sang tuan.
Mulut Baraq mulai mengucapkan mantra menggunakan bahasa yang Artha tidak mengerti. Mata pemuda itu tanpa kedip menatap punggung Baraq yang seolah menyembah peti mati sahabatnya, Revan.
Tiba-tiba asap mengepung ruangan tersebut, sosok serba hitam keluar dari peti seorang Revandy Qayro. Baraq, dengan sisa-sisa tenaganya melangkah masuk kedalam peti menggantikan sosok serba hitam yang sudah menginjakkan kakinya kelantai. Tudung peti tertutup sendiri dan asap pun hilang.
Jlep!
Artha terbangun dan mendapati dirinya sudah berada disofa ruang tamu apartemen, seorang pria berpakaian serba hitam duduk membelakanginya sambil mengutak-atik laptop.
"Artha."
"Siap tuan!" jawab Artha spontan.
Napas Selena tercekat saat mendapati Roman memeluknya begitu erat sambil menangis tersedu-sedu.
"Heh! Mengapa kau menangis!" olok Selena. Roman melepaskan pelukannya.
"Selena, aku tidak ingin kehilanganmu! Aku mengerti, aku paham! Kau, kau tidak akan pergi kan? Kita akan selesaikan masalah ini bersama-sama! Oke!?"
Selena tersenyum lalu mengangguk.
"Heh bocah! Bantu aku!" kesal Alevan yang masih berada dibawah pohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Te Amo 2 ( Alevan Dykara )
AcciónSebelum membaca, alangkah baiknya jika kalian membaca lebih dulu Te Amo (Revandy Qayro) agar alur dapat dipahami. Alevan Dykara, bagaimana kisah pemuda tampan 17 tahun itu untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Siapa Revan? Mengapa semua orang m...