Selena berada dikursi roda, didorong oleh Alevan yang membawanya berjalan-jalan dipagi hari. Selena diminta pihak rumah sakit untuk dirawat beberapa hari guna memulihkan kondisinya, padahal Alea dan yang lainnya tahu kalau Selena tak separah itu.
"Kau tidak masuk kuliah?" tanya Selena.
"Kalau aku masuk, aku tak berada disini,"
jawab Alevan ketus."Jangan begitu, bukan 'kah mom memintamu untuk menjagaku? Kakakku yang paling kusayangi," rayu Selena membuat Alevan memutar bola matanya malas.
"Lebih baik aku menjaga seekor singa daripada menjagamu!" decak Alevan. "Bahkan kau lebih mengerikan dari singa," tambah Alevan berucap dengan santainya berhasil membuat Selena tertawa.
"Kak Nessa, dimana dia? Tak terlihat," tanya Selena lagi.
"Apa kau bertengkar dengannya?" tanya Selena lagi sampai Alevan menghentikan dorongan kursi rodanya.
"Kau sangat berisik, diam 'lah! Kita sedang diawasi polisi, kau masih tak sadar?" gerutu Alevan.
Benar sekali, para polisi masih berjaga dibeberapa titik rumah sakit.
"Sudah seperti penjahat saja," gumam Selena pelan.
"Aku 'kan hanya menusuk pria itu, siapa suruh dia mengusik rumah kita," ucap Selena.
Alevan terdiam. "Bahkan kau masih memikirkan rumah itu," ucap pemuda itu kembali bergerak mendorong kursi roda Selena.
"Aku senang!" Selena mendongakkan kepalanya tersenyum manis pada sang kakak. Alevan menepuk pipi adiknya itu dengan ekspresi dingin.
"Revan juga marah, jika tempatnya dijadikan markas oleh para bajingan---"
"Selena!" bentak Alevan yang sudah kehabisan kesabaran menghadapi ocehan gadis itu.
"Hentikan," ucap Alevan berlutut dihadapan Selena dengan dua tangan menggenggam bahu Selena.
"Cukup, ku mohon. Jangan lagi..." Alevan menjatuhkan wajahnya dipangkuan Selena.
"Melihat tanganmu berlumuran darah, wajahmu kotor dengan darah, sudah cukup membuatku frustasi. Jantungmu sempat berhenti berdetak, untung saja dokter bertindak cepat. Hentikan, Selena. Aku hanya ingin hidup normal, bertengkar denganmu seperti biasanya, berhenti membahayakan dirimu, diriku dan semuanya."
"Mengapa kau masih berharap dia ada? Dia itu penjahat. Dia menyakitimu, menyakitiku dan menyakiti mom. Berhenti mengharapkannya."
"Jangan membuat mom kembali bersedih. Dengan kejadian ini, mom akan kembali memikirkan keselamatanmu."
"Tolong..."
Selena merasakan kulitnya terasa basah, apakah Alevan tengah menangis.
"Aku tak ingin kehilanganmu."
"Teruslah hidup, bertahan dan jangan mengungkit yang sudah lalu..."
Tangan Selena terangkat mengusap kepala Alevan sampai pemuda itu mengangkat wajahnya.
"Jangan tertawa," decak Alevan mengusap pipinya kasar.
"Hidungmu seperti badut," ucap Selena menahan tawanya sebisa mungkin.
"Ku bunuh kau!!" Alevan mencubit kedua pipi Selena namun Selena malah tertawa mendengar ancaman basi dari kakaknya itu.
Entah sudah berapa ratus kali Alevan mengatakan ingin membunuhnya namun nyatanya Alevan 'lah yang paling takut kehilangannya.
"Baduttt!" tawa Selena pecah membuat beberapa orang ikut terkekeh melihat tingkahnya.
Vanessa masih berada dikelas meskipun hanya tersisa dirinya dan beberapa gadis yang mungkin adalah korban bully oleh para penguasa kelas. Dosen pengajar kelas sudah keluar sepuluh menit yang lalu namun Vanessa belum beranjak dari duduknya.
"Kau tidak pulang?" tanya seorang gadis dengan kacamata bulat.
"Duluan saja," jawab Vanessa tersenyum canggung dan membiarkan gadis itu. Kini hanya tinggal ia sendiri.
"Selena, apa dia baik-baik saja?" tanya Vanessa pada dirinya sendiri. "Melihat raut wajah Van saat meliha Selena terluka, cukup meyakinkan ku kalau Van memang mencintai Selena lebih dari cintanya seorang kakak pada adik."
Vanessa merebahkan kepalanya dimeja, termenung menatap jejeran kursi kosong hingga suara derap langkah kaki mengalihkan perhatiannya.
"Kau tidak pulang?"
Vanessa diam lalu bangkit dari duduknya saat pria yang tidak lain adalah rektor kampus, Ervan El Alexander memasuki kelasnya.
"Tunggu!" cegah Ervan saat Vanessa hendak meninggalkannya. Langkah gadis itu pun terhenti.
"Dimana pemuda itu? Tidak masuk?" tanya Ervan membuat kepala Vanessa mengangguk mengiyakan.
"Mengapa---?"
"Mr, berhenti bertanya dan menganggu kami." Vanessa pergi begitu saja.
Ervan terdiam. "Apa mereka semua membenciku?" gumam Ervan lalu meninggalkan kelas.
Sementara itu di kantor kepolisian setempat, para petinggi tengah berdebat tentang keputusan kasus kemarin.
"Tapi dia masih anak-anak, ini bisa dikategorikan sebagai kasus perlawanan pada penjahat."
"Itu benar, kita berhutang budi pada anak itu. Siapa namanya? Selena?"
"Tapi anak itu terlalu brutal, hanya dengan pulpen berhasil membuat pria dewasa hampir tewas. Bisa juga dijadikan boomerang bahwa ia sedang berada dikasus percobaan pembunuhan."
"Ya memang benar, lagi pula penjahat itu tidak tewas, sekarang dia sedang dirawat dirumah sakit yang sama dengan anak itu."
"Lalu bagaimana keadaan anak lelaki?"
"Tadi pagi aku mendatangi rumah sakit dan dokter berkata kalau keadaan psikisnya sedikit terganggu, kedua belah pihak keluarga anak-anak itu juga tak mempermasalahkan hal itu."
"Berdasarkan keterangan dari sekolah, mereka memang kerap membuat masalah dengan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan anak seusianya."
"Hm, kau ingat kata kepal sekolah? Dia menusuk kepala temannya, dengan pulpen yang sama."
"Selena Aneska," ucap seseorang yang sedari tadi hanya diam sembari memandangi kertas berisikan data diri Selena.
"Baiklah, kita putuskan kepada pengadilan kalau anak ini tidak bersalah, dia melakukan perlawanan pada para penjahat yang sudah menjadi buronan. Mungkin anak itu akan mendapat apresiasi dari masyarakat dan juga pemerintahan, bagaimana?" tutur pria yang masih memandangi kertas data diri Selena.
"Baik, kepala." Jawab para polisi serentak dengan hormat.
Kembali lagi pada rumah sakit, Selena duduk berhadapan dengan Roman yang hanya menampilkan tatapan kosong. Mereka sedang berada diruangan milik Roman.
"Rom, ayolah. Lawan mereka!" ucap Selena membuat Alevan menyerngit tak mengerti.
Selena menggenggam tangan Roman, menatap dua mata Roman dengan tajam. Alevan memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Menyebalkan, pikirnya.
"Selena?"
Selena tersenyum kemudian tertawa lalu dengan santainya mengguncangkan dua bahu Roman.
"Begitu! Ayolah! Kau pasti bisa!" ucap Selena bersemangat.
"Cukup! Cukup! Kau menyakitiku," tegur Roman lalu turun dari kasur kemudian mencuci wajahnya pada bilik wastafel.
"Bagaimana?" tanya Selena menaikkan satu kakinya diatas kaki yang lain. Seolah menjadi bos dari Roman.
"Hampir saja aku kehilangan segalanya, kau gila!" ucap Roman dengan kesalnya namun Selena malah kembali tertawa.
"Jawab, apa kau bertemu dengannya?" tanya Selena lagi.
Roman mengangguk. "Dia memang masih bersama kita, sepertinya dia dikutuk atas kesalahannya," tutur Roman membuat senyum Selena luntur.
"Hei! Apa yang sebenarnya terjadi!?" tanya Alevan yang sedari tadi mendengar obrolan Roman dan Selena.
TBC...
🤔Au ah
70 komen langsung up🤝
![](https://img.wattpad.com/cover/183992914-288-k464375.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Te Amo 2 ( Alevan Dykara )
ActionSebelum membaca, alangkah baiknya jika kalian membaca lebih dulu Te Amo (Revandy Qayro) agar alur dapat dipahami. Alevan Dykara, bagaimana kisah pemuda tampan 17 tahun itu untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Siapa Revan? Mengapa semua orang m...