28. Ketenangan

1.1K 165 35
                                    

Vika terbangun dari tidur dan merasakan nyeri luar biasa di kakinya. Wanita itu berusaha bangun dari kasur kemudian menyandarkan punggungnya di kepala ranjang rumah sakit. Ia sendiri didalam sana, kemana semua orang dan dimana Vanessa.

Vika memencet tombol darurat hingga membuat para perawat berdatangan.

"Dimana yang lain?" tanya Vika pelan.

"Tolong tenangkan dirimu, yang lain maksudnya suami mu?" tanya salah satu perawat.

Vika berdecak lalu menyuruh mereka untuk pergi. Selepas perginya para perawat rumah sakit, tiba-tiba pintu terbuka. Di ambang pintu terdapat seorang pria yang tiada lain adalah Artha. Vika mengalihkan pandangannya, namun saat suara Vanessa terdengar, ia pun menoleh dan mendapati Vanessa berlari kearahnya kemudian memeluknya dengan sangat erat.

"Mami, gimana keadaan mami?" tanya Vanessa panik.

"Mami baik, yang lain mana?" tanya Vika tanpa menatap Artha yang sedari tadi tak pernah melepaskan pandangan darinya.

Vanessa menggeleng tanda tak tahu. Vika pun menatap Artha tajam. "Nessa keluar dulu ya, ada yang mau mami omongin sama dia," pinta Vika dan Vanessa mengangguk lalu pergi.

Artha mendekat perlahan tanpa ekspresi. Ia menumpukan kedua tangannya pada brankar dan tak berani menatap Vika dalam jarak sedekat ini.

"Apa lagi?" tanya Vika serak.

"Artha... Apa lagi!?" bentak Vika mengguncangkan kedua bahu Artha sekuat tenaga.

"Semuanya hancur! Kamu nggak seharusnya bawa kami kedalam lingkaran ini lagi!"

"Artha... Apa nggak cukup bahayanya nyawa aku sampai kamu bawa-bawa nyawa Vanessa!?"

"Tuan---"

"Ini nggak ada hubungannya sama Revan! Ini cuma diantara aku dan kamu!" potong Vika membuat Artha langsung memeluknya begitu erat.

Vika menangis pada dada bidang Artha. Aroma yang sudah lama tak tercium seketika merbak masuk kedalam indera penciumannya. Sebut saja Vika gila karena masih mengharapkan Artha tetap berada disisinya, menemani pagi dan malamnya, menjadi alasannya tertawa dan menangis seperti sekarang ini.

"Maaf..." Artha berucap pelan.

"Kata maaf nggak cukup..." balas Vika disela-sela tangisannya.

Vanessa yang mendengarkan dari luar terduduk lesu dilantai dengan punggung tersender pada tembok. Ia menangis dalam diam menatap kosong kearah depan.

•••

"Gadis kecil selalu menangis, merenung tidak membeli balon! Hooooo!"

Roman bernyanyi meledek Selena yang duduk diam diatas kasur kamarnya.

"Ramsey saja menggonggong tanda lapar dan gadis kecil tidak bicara! Hoooo!!!"

Selena berdecak menutup dua telinganya mendengar nyayian Roman. Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"Kak Van mencarimu," ucap Alea menatap Selena yang juga tengah menatapnya.

Selena bangkit dari kasur lalu meninggalkan Roman menuju sang kakak yang sepertinya sudah bangun dari tidurnya. Selena masuk dengan ragu kedalam kamar Alevan.

"Kak Van..." panggil Selena pada seseorang yang duduk dibalkon berjemur dipagi hari.

Selena menghampirinya lalu duduk tepat disebelah Alevan. Mereka berdua menghadap sinar mentari pagi yang menghangatkan. Sudah lama keduanya tidak setenang ini.

"Malam yang panjang," ucap Alevan menatap Selena dari samping. Saat Selena menoleh Alevan langsung memeluknya hingga mereka hampir terjatuh dari balkon.

"Hey!!!" gerutu Selena mengusap kedua pipinya yang basah akibat ciuman bertubi-tubi dari Alevan.

"Jadi, pagi ini kau mau makan apa?" tanya Alevan membuat Selena tersenyum tulus. Selena menatap dalam pada manik mata hazel Alevan.

"Kak Van apa kau tau--"

Cup...

Alevan mengecup singkat bibir Selena hingga anak itu terdiam.

"Jangan banyak bicara, aku lapar. Apa kau terpesona dengan ketampanan ku? Ah sudah pasti," ucap Alevan berbangga diri.

"Kau menyebalkan!!!" teriak Selena mengusap bibirnya.

Alevan tertawa lalu menggendong Selena seperti koala kemudian mendudukkannya dikasur.

"Dengar ya, aku tidak ingin mendengar apapun lagi tentang mereka. Biarkan Mom menyelesaikan urusannya, kau jangan ikut campur, begitu pun Roman. Oh dimana Roman, pacarmu? Hahaha!!!"

Selena benar-benar kesal mendengar ocehan Alevan. Sepertinya pemuda itu sudah mendapatkan ketenangannya. Lalu dimana dia?

Alea berada diruang makan, Fadil menghampirinya dengan ragu. "Vika udah sadar," ucap pria itu lalu duduk disalah satu kursi. Alea hanya diam dengan anggukan kecil kemudian menaruh piring berisi sarapan untuk Fadil dihadapan pria itu. Lantas Alea pergi tanpa seulas senyum.

"Lea..." panggil Fadil pelan saat adik kandung sekaligus isterinya itu sudah tak terlihat lagi.

Roman datang lalu dengan santai mengambil sesuatu dari kulkas.

"Yang terpenting, kita semua selamat." Roman berucap membuat Fadil tersenyum meskipun hatinya terasa begitu sakit.

Alea masuk kekamar kemudian mengunci pintu. Wanita itu duduk terdiam dikasur dan tiba-tiba seseorang masuk lewat pintu balkon yang terbuka. Seseorang itu menunggu sejak kepulangan mereka dari kejadian tadi malam.

"Evan..." ucap Alea menyenderkan kepalanya pada bahu tegap seorang yang tiada lain adalah Revan.

Pria itu mengangkat satu tangannya menunjuk pintu balkon dan seketika tertutup hingga membuat Alea diam tak bergeming.

"Lea, pada akhirnya kita akan tetap jadi kita. Aku dengan jalanku, dan kamu dengan kehidupan kamu."

Alea memejamkan matanya mendengarkan dengan penuh harap kata demi kata dari ucapan Revan, Revannya.

"Semuanya sudah terlalu jauh ya," ucap Revan membuat Alea mengangguk kecil.

"Kalau dulu--"

"Nggak ada yang bisa diulang, hidup aku harus tetap berjalan. Dengan kamu atau tanpa kamu," potong Alea membuat Revan tersenyum kecil.

"Aku selalu takut, kamu bakal lupa sama aku. Tapi kenyataannya--"

"Nggak ada kata lupa dalam kepala aku kalau itu berhubungan tentang kamu," potong Alea lagi hingga membuat Revan benar-benar tersenyum sekaligus menangis.

Revan memegang kedua bahu Alea. Keduanya saling tatap dalam diam dengan manik mata yang memancarkan kerinduan mendalam. Alea hendak memeluk namun Revan menggeleng dengan senyum tipis.

"Andai---"

Alea menempelkan jari telunjuknya pada bibir Revan.

"Jangan berandai, lagi." Alea memeluk Revan dan kali ini tidak ada penolakan sama sekali. Bahkan Revan juga membalas pelukannya tak kalah erat, mencium aroma tubuh Alea sebanyak mungkin selama ia mampu untuk mendekapnya.

"Te amo..." bisik Revan pelan seiring hilangnya bayangan imajinasi Alea.











Tbc...
Cengeng, aku nangis.
Ah makin nggak jelas😭🙂

Te Amo 2 ( Alevan Dykara )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang